Studi terbaru mengungkap tren tak terduga: perusahaan-perusahaan mulai mempekerjakan kembali karyawan yang sebelumnya digantikan AI, menyusul temuan bahwa hanya 5% perusahaan yang benar-benar untung dari implementasi AI secara masif.
Fokus Utama:
■ Kekecewaan Hasil Implementasi AI: Hanya 5% perusahaan yang menunjukkan return profitable dari investasi AI, berdasarkan studi MIT.
■ Tren Rehire yang Meningkat: Perusahaan mempekerjakan kembali mantan karyawan dengan tingkat rehire mencapai level tertinggi sejak 2018.
■ Kesenjangan Pemahaman Eksekutif: Mayoritas manajemen senior dinilai belum sepenuhnya memahami kemampuan dan keterbatasan AI.
Perusahaan ramai-ramai hire kembali karyawan yang diganti AI. Studi MIT ungkap hanya 5% perusahaan yang untung dari investasi AI.
Demam artificial intelligence (AI) yang melanda dunia korporat ternyata meninggalkan kekecewaan pahit. Alih-alih menghasilkan efisiensi besar-besaran, banyak perusahaan justru terpaksa memutar haluan dengan mempekerjakan kembali karyawan yang sebelumnya mereka gantikan dengan mesin. Fakta mengejutkan ini terungkap dari data terbaru yang menunjukkan koreksi besar-besaran terhadap euphoria berlebihan atas teknologi AI.
Perusahaan analitik SDM Visier dalam laporan terbarunya mencatat, tingkat rehire karyawan yang sebelumnya di-terminate mencapai level tertinggi sejak 2018. Padahal, secara normal hanya 5,3% karyawan yang dipecat yang kemudian dipekerjakan kembali oleh mantan perusahaan mereka. Lonjakan signifikan di akhir 2025 ini, menurut Visier, menjadi indikator jelas dari praktik hiring dan firing yang didorong AI.
“Anda bisa mengatakan ini adalah koreksi pasar tenaga kerja terhadap hype AI yang berlebihan,” ujar Andrea Derler, Kepala Penelitian dan Nilai di Visier, kepada Axios.
Kesenjangan Pemahaman di Level Eksekutif
Masalah mendasarnya, menurut Derler, terletak pada pemahaman yang parsial tentang kemampuan AI di kalangan eksekutif senior. “Banyak eksekutif senior belum punya waktu untuk benar-benar memahami apa yang bisa dan—yang penting—tidak bisa dilakukan AI,” paparnya.
Studi MIT yang dirilis sebelumnya mengonfirmasi temuan ini. Hanya 5% perusahaan yang benar-benar menunjukkan return profitable dari implementasi AI secara menyeluruh. Angka yang jauh dari janji-janji efisiensi 30-40% yang sering digembar-gemborkan vendor teknologi.
“PHK tidak perah gratis,” tegas Derler. Meski ada penghematan gaji langsung, perusahaan harus mempertimbangkan biaya pelatihan AI untuk tugas-tugas tertentu—proses yang bisa membuat frustrasi bagi staf yang tidak terlatih dalam prompt yang efektif.
Biaya Tersembunyi yang Terabaikan
Yang sering luput dari perhitungan adalah biaya tersembunyi dalam transisi ke AI. Mulai dari investasi infrastruktur teknologi, biaya pelatihan staf, hingga produktivitas yang turun selama masa transisi. Belum lagi risiko kesalahan AI yang dalam beberapa kasus justru menimbulkan kerugian lebih besar.
Dalam industri seperti customer service, misalnya, chatbot AI terbukti efektif menangani pertanyaan sederhana. Namun untuk kasus kompleks yang membutuhkan empati dan pemecahan masalah kreatif, kemampuan manusia masih tak tergantikan.
“Pemimpin harus bertanya: Peran mana yang dapat digantikan oleh AI? Berapa biayanya, apa risikonya, dan apa rencananya untuk orang dan keterampilan yang tertinggal?” rekomendasi Visier dalam laporannya.
Pelajaran Berharga bagi Dunia Korporat
Fenomena rehire massal ini menjadi pelajaran berharga bagi perusahaan yang terlalu gegabah melakukan transformasi digital. Alih-alih memandang AI sebagai pengganti manusia, pendekatan yang lebih bijak adalah melihatnya sebagai alat bantu yang melengkapi kemampuan manusia.
Beberapa perusahaan pionir mulai menerapkan model hybrid, dimana AI menangani tugas-tugas repetitif sementara manusia fokus pada pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, empati, dan penilaian kompleks.
Bagi karyawan yang sempat menjadi korban pemutusan hubungan kerja karena AI, gelombang rehire ini menjadi angin segar. Namun bagi dunia korporat, ini adalah pengingat keras bahwa teknologi secanggih apapun tidak akan pernah sepenuhnya menggantikan kecerdasan dan fleksibilitas manusia.
Digionary:
● AI Hype Cycle: Siklus harapan berlebihan terhadap kemampuan artificial intelligence yang diikuti kekecewaan sebelum akhirnya menemukan keseimbangan.
●People Analytics: Analisis data SDM untuk pengambilan keputusan strategis dalam manajemen talenta.
●Return on Investment (ROI): Ukuran profitabilitas investasi yang dihitung dari keuntungan dibagi biaya investasi.
●Transformasi Digital: Proses integrasi teknologi digital ke dalam semua area bisnis untuk meningkatkan efisiensi dan nilai.
#AI #ArtificialIntelligence #TrenKetenagakerjaan #TransformasiDigital #MasaDepanKerja #StudiMIT #Visier #Korporasi #StrategiBisnis #Efisiensi #Produktivitas #HRTech #PeopleAnalytics #DigitalTransformation #Workforce #ManagementStrategy #BusinessIntelligence #TechTrends #AIImplementation #LaborMarket
