Tak Mau Ada Pesaing Yuan Digital, China Tekan Ant Group Hentikan Penerbitan Stablecoin

- 21 Oktober 2025 - 10:13

China kembali menunjukkan kontrol ketatnya terhadap sektor keuangan digital. Setelah sempat memberi ruang pada eksperimen aset kripto di Hong Kong, Beijing kini memerintahkan Ant Group dan JD.com untuk menghentikan rencana penerbitan stablecoin. Langkah ini menegaskan kekhawatiran otoritas China terhadap potensi dominasi mata uang digital swasta yang bisa menyaingi yuan digital (e-CNY) dan mengganggu kedaulatan moneter negara.


Fokus Utama:

1. China menekan Ant Group dan JD.com untuk membatalkan proyek stablecoin di Hong Kong.
2. Beijing khawatir stablecoin swasta akan menyaingi yuan digital (e-CNY).
3. IMF dan regulator global memperingatkan risiko sistemik dari lonjakan pasar stablecoin senilai US$305 miliar.


Beijing menghentikan rencana Ant Group dan JD.com menerbitkan stablecoin di Hong Kong karena khawatir menyaingi yuan digital (e-CNY). Langkah ini menegaskan kontrol ketat China atas sektor uang digital di tengah lonjakan pasar stablecoin global senilai US$305 miliar.


Langkah Beijing menghentikan ambisi Ant Group menerbitkan stablecoin di Hong Kong menandai babak baru pertarungan antara negara dan korporasi teknologi. Di tengah ambisi global memperluas penggunaan aset digital, China justru memperketat kendali—khawatir dominasi uang digital beralih dari tangan pemerintah ke sektor swasta.

Raksasa teknologi China, Ant Group—perusahaan afiliasi Alibaba—menunda rencananya untuk menerbitkan stablecoin di Hong Kong. Keputusan itu bukan karena masalah teknis, melainkan tekanan politik dan regulasi dari pemerintah pusat di Beijing.

Menurut laporan Financial Times, Ant Group bersama JD.com awalnya berencana bergabung dalam program uji coba stablecoin Hong Kong yang dimulai Agustus lalu. Program itu dikelola oleh Otoritas Moneter Hong Kong (HKMA) sebagai bagian dari upaya wilayah tersebut menjadi hub aset digital di Asia.

Namun, rencana itu berubah drastis setelah regulator China, termasuk Bank Rakyat China (PBoC) dan Administrasi Siber China (CAC), secara langsung meminta perusahaan-perusahaan besar itu “menunda atau menghentikan” proyek tersebut. Lima sumber yang dikutip Financial Times menyebut PBoC khawatir langkah itu akan memberi “kewenangan mencetak uang” kepada sektor swasta.

“Masalah utama bagi regulator adalah, siapa yang memiliki hak akhir untuk mencetak uang—bank sentral atau perusahaan swasta di pasar?” ujar salah satu sumber.

Stablecoin sendiri merupakan token digital yang nilainya dipatok pada mata uang fiat seperti dolar AS. Jenis aset ini kini menjadi pilar utama dalam perdagangan kripto global, dengan total nilai pasar mencapai US$305 miliar pada 2025 menurut data CoinMarketCap.

Bagi China, potensi stablecoin justru dianggap ancaman terhadap proyek besar mereka: e-CNY, mata uang digital resmi negara. Sejak diluncurkan secara terbatas pada 2020, yuan digital telah digunakan di lebih dari 200 kota di China dengan transaksi melampaui US$250 miliar pada pertengahan 2025, menurut PBoC Digital Currency Research Institute.

Tantangan bagi Yuan Digital

Beijing melihat penerbitan stablecoin swasta berbasis yuan dapat melemahkan otoritas moneter nasional. Dalam sebuah forum keuangan tertutup pada Juli, mantan Gubernur PBoC Zhou Xiaochuan memperingatkan bahwa stablecoin dapat “menimbulkan risiko sistemik” dan menjadi pintu spekulasi baru di pasar aset digital.

“Kita harus waspada terhadap penggunaan stablecoin secara berlebihan untuk spekulasi aset, karena arah yang salah dapat memicu penipuan dan ketidakstabilan dalam sistem keuangan,” ujar Zhou.

Zhou juga menegaskan, meski stablecoin diklaim bisa merevolusi sistem pembayaran, ruang efisiensi biaya yang bisa dicapai sebenarnya sangat terbatas, terutama di sektor ritel yang sudah digital.

Pernyataan itu memperkuat pandangan konservatif pemerintah terhadap inovasi finansial swasta. “China tak akan membiarkan penciptaan uang keluar dari kendali negara,” ujar seorang analis keuangan Beijing kepada Reuters.

Stabilitas vs Inovasi

Langkah Beijing ini juga memperlihatkan dilema klasik antara stabilitas dan inovasi. Di satu sisi, stablecoin berpotensi mempercepat pembayaran lintas batas dan memperluas penggunaan yuan secara internasional. Di sisi lain, potensi kebocoran modal dan spekulasi liar membuat pemerintah enggan mengambil risiko.

Sebelumnya, mantan Wakil Menteri Keuangan China Zhu Guangyao sempat menyerukan agar China “memanfaatkan program uji coba di Hong Kong” untuk mengembangkan stablecoin berbasis renminbi. “Tujuan strategis di balik promosi stablecoin oleh AS adalah untuk mempertahankan supremasi dolar. China perlu menanggapi tantangan itu dengan membuat stablecoin berbasis renminbi,” ujar Zhu dalam forum di Beijing, Juni lalu.

Namun, pidato Zhou Xiaochuan dua bulan kemudian tampaknya mengubah arah kebijakan. Regulator kini bersikap jauh lebih hati-hati dan menutup celah bagi perusahaan swasta untuk bereksperimen dengan aset digital di luar kendali negara.

Risiko Global

Kekhawatiran Beijing bukan tanpa dasar. Dalam laporan Global Financial Stability Report Oktober 2025, IMF memperingatkan bahwa pasar stablecoin global yang kini mencapai US$305 miliar berisiko “mengalami rush” atau penarikan dana besar-besaran secara tiba-tiba jika kepercayaan publik runtuh.

“Karena stablecoin berisiko mengalami rush, penjualan cepat atas aset cadangan mereka—seperti deposito bank atau surat utang pemerintah—dapat menular ke pasar deposito bank dan obligasi pemerintah,” tulis IMF.

Risiko ini dikhawatirkan dapat memicu efek domino yang menjalar ke sektor keuangan tradisional, terutama di negara berkembang dengan cadangan devisa terbatas.

Bank Sentral Eropa juga menilai stablecoin berbasis dolar berpotensi menggerus kemampuan mereka mengendalikan kebijakan moneter, karena bisa menciptakan sistem pembayaran paralel di luar otoritas nasional.

Hong Kong di Persimpangan

Dengan tekanan Beijing, Hong Kong kini berada di posisi sulit. Sebagai pusat finansial global, kota ini berupaya menarik investasi digital melalui kerangka regulasi yang relatif terbuka. Namun di bawah bayang-bayang kebijakan “satu negara, dua sistem”, setiap langkah inovatif tetap harus sejalan dengan kepentingan politik dan moneter Beijing.

Otoritas Moneter Hong Kong menolak berkomentar soal pembatalan proyek Ant Group. Namun, para analis menilai langkah ini bisa menghambat ambisi Hong Kong menjadi laboratorium keuangan digital bagi China.

“Hong Kong ingin menjadi jembatan global bagi yuan digital, tapi Beijing hanya mau jembatan yang mereka kendalikan sendiri,” kata Wang Yong, analis fintech dari Universitas Fudan.


Digionary:

● Ant Group — Perusahaan fintech besar China, afiliasi Alibaba, pengelola Alipay.
● CAC (Cyberspace Administration of China) — Lembaga pengawas dunia maya dan data di China.
● e-CNY (Digital Yuan) — Mata uang digital resmi yang diterbitkan oleh Bank Rakyat China.
● HKMA (Hong Kong Monetary Authority) — Otoritas moneter Hong Kong, setara dengan bank sentral.
● IMF (International Monetary Fund) — Dana Moneter Internasional, lembaga keuangan global yang memantau stabilitas ekonomi dunia.
● JD.com — Raksasa e-commerce dan teknologi China.
● PBoC (People’s Bank of China) — Bank sentral Republik Rakyat China.
● Stablecoin — Aset digital yang nilainya dipatok pada mata uang konvensional (seperti dolar AS).
● Yuan Digital — Versi digital dari mata uang resmi China yang dikontrol langsung oleh pemerintah.

#China #AntGroup #Stablecoin #DigitalYuan #CBDC #Fintech #JDcom #HongKong #DigitalCurrency #Blockchain #Cryptocurrency #FinancialRegulation #IMF #PBoC #CAC #eCNY #MonetaryPolicy #GlobalFinance #FintechRegulation #DigitalEconomy

Comments are closed.