Cloud vs Edge: Pertarungan Strategis yang Akan Tentukan Masa Depan AI di Singapura

- 14 Oktober 2025 - 19:46

Singapura menghadapi tantangan strategis dalam infrastruktur AI, yakni bagaimana menyeimbangkan kebutuhan data center terpusat dengan efisiensi komputasi lokal. Pendekatan distributed computing yang menggabungkan cloud, edge, dan device menjadi kunci memaksimalkan potensi AI sekaligus mengatasi keterbatasan lahan dan konsumsi energi yang mencapai 7% dari total kebutuhan listrik nasional.


Fokus Utama:

1. Konsumsi energi data center yang mencapai 7% dari total listrik Singapura dan diproyeksikan naik menjadi 12% pada 2030.
2. Kebutuhan pendekatan distributed computing yang menggabungkan data center, AI PC, dan edge devices untuk efisiensi dan keberlanjutan.
3. Potensi produktivitas AI sebesar S$27 miliar untuk sektor manufaktur Singapura dan kontribusi US$1 triliun untuk GDP Asia Tenggara pada 2030.


Singapura hadapi dilema infrastruktur AI:data center konsumsi 7% listrik nasional, tapi edge computing bisa jadi solusi. Bagaimana strategi distributed computing jadi masa depan AI yang berkelanjutan?


Di balik ambisi menjadi pusat kecerdasan artifisial (AI) global, Singapura menghadapi tantangan infrastruktur yang kian mendesak: data center yang menjadi tulang punggung ekosistem AI kini menghabiskan 7% dari total konsumsi listrik nasional, dan diproyeksikan melonjak menjadi 12% pada 2030.

“Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi alarm yang mengingatkan kita tentang kebutuhan mendesak akan pendekatan yang lebih seimbang,” tegas Alexey Navolokin, General Manager Asia-Pacific AMD, dalam analisis terbarunya seperti dikutip laman Business Times.

Di tengah perlombaan regional memperebutkan investasi hyperscale, Singapura justru berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, data center tetap menjadi kebutuhan vital untuk training model AI yang kompleks. Di sisi lain, keterbatasan lahan dan komitmen keberlanjutan memaksa negeri kota ini mencari solusi yang lebih efisien. Jawabannya, menurut Navolokin, terletak pada distributed computing—sebuah pendekatan yang memadukan kekuatan data center terpusat dengan kecepatan komputasi lokal di edge devices dan AI PC.

“Bayangkan seorang entrepreneur di heartland Singapura yang menggunakan aplikasi AI untuk analisis inventori. Dengan pendekatan cloud-only, data harus bolak-balik ke data center, menciptakan latency, boros energi, dan meningkatkan risiko keamanan,” paparnya.

Dengan komputasi lokal, proses yang sama bisa dilakukan langsung di device, tanpa ketergantungan pada koneksi internet, lebih hemat energi, dan dengan keamanan yang lebih terjamin karena data sensitif tidak perlu meninggalkan perangkat.

Tekanan infrastruktur ini datang di saat potensi ekonomi AI bagi Singapura sedang berada di puncaknya. Public First, konsultan asal Inggris, memperkirakan AI bisa mendongkrak produktivitas sektor manufaktur Singapura hingga S$27 miliar. Sementara Deloitte memproyeksikan kontribusi AI untuk GDP Asia Tenggara bisa mencapai US$1 triliun pada 2030.

“Singapura memiliki peluang nyata menjadi pelopor AI, dengan talenta yang mumpuni, dukungan pemerintah yang kuat, dan lingkungan bisnis yang prospektif,” ujar Navolokin, mengutip pesan Perdana Menteri Lawrence Wong dalam pidato Hari Nasional tentang pentingnya mengadopsi AI secara berani.

Navolokin memetakan tiga lapis strategi yang diperlukan Singapura, yakni: pertama, data center sebagai pusat penyimpanan data besar, training model kompleks, dan analisis skala besar. Kedua, AI PC untuk menangani tugas-tugas lokal yang membutuhkan performa tinggi, pengembangan aplikasi, dan pemrosesan data sensitif. Ketiga, edge devices untuk pemrosesan real-time di lokasi, seperti sensor di pabrik atau kendaraan otonom, yang membutuhkan respons instan. “Ketiganya bukan pesaing, melainkan mitra yang saling melengkapi dalam ekosistem AI yang sehat,” tegasnya.

Dengan konsumsi energi yang terus membengkak dan keterbatasan lahan yang semakin nyata, pendekatan distributed computing bukan lagi sekadar opsi, melainkan kebutuhan strategis. Model ini tidak hanya menjawab tantangan efisiensi energi, tetapi juga membuka akses AI yang lebih inklusif—dari perusahaan multinasional hingga UKMM di heartland.

“Singapura tidak bisa hanya berfokus pada pembangunan data center saja. Yang dibutuhkan adalah pendekatan holistik yang memanfaatkan seluruh ekosistem komputasi, dari fasilitas hyperscale hingga peran kritis edge computing dan perangkat personal,” pungkas Navolokin.

Pada akhirnya, keberhasilan Singapura dalam era AI akan ditentukan oleh kemampuan menciptakan keseimbangan yang tepat antara kekuatan terpusat dan efisiensi tersebar—sebuah formula yang tidak hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan keberlanjutan di tengang sumber daya yang terbatas.


Digionary:

· ● AI PC: Komputer personal yang dioptimalkan dengan chip khusus untuk menjalankan model AI secara lokal tanpa bergantung pada cloud.
·● Data Center: Fasilitas terpusat yang berisi server dan infrastruktur komputasi untuk menyimpan, memproses, dan mendistribusikan data dalam skala besar.
·● Distributed Computing: Arsitektur komputasi yang membagi tugas pemrosesan data across multiple devices dan lokasi, bukan mengandalkan satu pusat saja.
·● Edge Computing: Paradigma komputasi yang memproses data sedekat mungkin dengan sumber datanya, mengurangi latency dan bandwidth usage.
·● Hyperscale: Infrastruktur TI yang dapat menskalakan kapasitas secara elastis untuk memenuhi demand yang sangat besar.

#AI #SingapuraTech #DataCenter #EdgeComputing #SustainableAI #DigitalTransformation #CloudComputing #GreenTechnology #Infrastructure #TechStrategy #ArtificialIntelligence #DigitalEconomy #Innovation #EnergyEfficiency #SmartNation #FutureTech #DistributedComputing #AIPC #Hyperscale #SingapuraDigital

Comments are closed.