DBS, UOB, dan OCBC Berada di Garis Depan Revolusi Aset Tokenisasi

- 10 Oktober 2025 - 10:28

Perbankan Singapura,yang diwakili oleh tiga raksasa DBS, UOB, dan OCBC, sedang berada di garis terdepan revolusi aset tokenisasi. Meski melihat potensi besar untuk meningkatkan efisiensi dan likuiditas pasar keuangan, perjalanan menuju adopsi massal ini dihadang oleh tantangan klasik, yakni regulasi yang masih mencari bentuk, kelangkaan bakat dengan keahlian ganda (finansial dan teknologi), serta kebutuhan mendesak untuk menciptakan standar kepatuhan yang harmonis di antara lembaga keuangan global.


DBS,UOB, dan OCBC tak sekadar ikut tren. Mereka sedang membentuk masa depan finansial melalui aset tokenisasi. Namun, jalan menuju dominasi di arena digital ini dipenuhi rintangan: dari soal regulasi, pencarian “Superman” di bidang keuangan, hingga perlunya kolaborasi global. Simak analisis mendalamnya.

Gelombang disrupsi digital tak hanya menerpa sektor ritel atau teknologi, tetapi kini mengguncang fondasi paling tradisional di dunia: perbankan. Di Singapura, tiga pilar utamanya—DBS, United Overseas Bank (UOB), dan Oversea-Chinese Banking Corporation (OCBC)—tak lagi sekadar menunggu. Mereka aktif membidik peluang senilai miliaran dolar di balik aset tokenisasi, sebuah terobosan yang diyakini akan mengubah wajah finansial global dalam beberapa tahun ke depan.

Tokenisasi, proses mengonversi aset fisik seperti obligasi, saham, atau bahkan real estate menjadi aset digital yang dapat diperdagangkan di blockchain, bukan lagi sekadar wacana futuristik. “Tokenisasi tidak lagi menjadi area niche dalam keuangan. Ia sebenarnya sedang menjadi arus utama layanan finansial pada titik waktu ini,” tegas Dr. Steven Hu, Kepala Divisi Aset Digital untuk Pasar Global OCBC, dalam sebuah panel diskusi baru-baru ini mengutip Business Times.

Keyakinan itu dibuktikan dengan aksi nyata. Pada Agustus lalu, DBS, bank terbesar di kawasan Asia Tenggara, meluncurkan structured notes yang ditokenisasi di blockchain publik Ethereum. Ini adalah langkah strategis setelah eksperimen mereka dengan tokenisasi obligasi di blockchain privat pada 2021 dinilai kurang mendapat sambutan. “Sayangnya, kami menyadari bahwa di blockchain privat, tidak banyak minat yang timbul,” ujar Kelvin Tan, Kepala Tokenisasi untuk Pasar Keuangan Global DBS, dengan jujur mengakui kendala awal.

Peluang yang dibidik sungguh monumental. Menurut data terkini dari Chainalysis, volume transaksi kripto di Asia tumbuh pesat menjadi US$2,36 triliun hingga Juni 2025, melonjak dari US$1,4 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Ini adalah sinyal kuat bahwa pasar Asia telah matang untuk aset digital yang lebih terstruktur, di mana aset tokenisasi berada di dalamnya.

Namun, di balik optimisme itu, para eksekutif bank ini sepenuhnya sadar bahwa jalan menuju adopsi massal tidaklah mulus. Setidaknya, ada tiga tantangan besar yang harus mereka atasi.

Dalam bayang-besarnya potensi, risiko keamanan dan kepatuhan menjadi hantu yang nyata. Aset digital, khususnya kripto, sering dikaitkan dengan aktivitas pencucian uang. Otoritas Moneter Singapura (MAS) sendiri sedang waspada, dengan 49 orang yang baru-baru ini diselidiki atas dugaan pencucian uang yang melibatkan akun kripto.

“Hanya karena kami menokenisasi sekuritas, bukan berarti kami bisa menjualnya ke siapa saja,” tandas Kelvin Tan dari DBS. Pernyataannya menyiratkan kompleksitas penerapan Know Your Customer (KYC) dan Anti-Money Laundering (AML) di dunia yang dirancang untuk tanpa batas.

Solusinya, seperti diungkapkan Patrick Yeo, Kepala Aset Digital untuk Pasar Keuangan Global DBS, adalah menciptakan “kerangka kerja KYC bersama” di antara bank-bank besar global. Bayangkan jika kontrak pintar (smart contract) DBS dapat berinteraksi langsung dengan dompet digital (wallet) milik JPMorgan karena keduanya memiliki standar KYC yang terhubung. Hal ini, menurut Yeo, akan “secara masif meningkatkan skalabilitas cara kerja keuangan terdesentralisasi (DeFi)” dengan pengamanan yang memadai.

Revolusi teknologi membutuhkan prajurit dengan keahlian khusus. Tantangan terberat kedua adalah kelangkaan talenta yang bukan hanya memahami kompleksitas dunia finansial, tetapi juga menguasai teknologi blockchain dan digital asset.

OCBC’s Hu dengan gamblang menyebutnya sebagai pencarian “talenta ala Superman”. Dia menjelaskan, “Dari perspektif lembaga keuangan, talenta ideal perlu menjadi seorang investor sekaligus ‘techie’ (ahli teknologi).” Selain itu, bank juga membutuhkan ahli di bidang hukum, tata kelola kepatuhan, dan manajemen risiko yang paham seluk-beluk aset digital.

Hu menekankan perlunya perubahan radikal dalam kolaborasi antara industri dan universitas. “Saya pikir jenis kolaborasi dengan universitas dan industri harus berubah,” serunya, sambil menambahkan bahwa kecerdasan artifisial (AI) harus dimanfaatkan untuk memformat ulang metode pembelajaran guna menciptakan bakat-bakat baru ini.

Di tengah tantangan, optimisme tetap mengemuka. Regulator, dalam hal ini MAS, tidak tinggal diam. Alan Lim, Kepala Infrastruktur Fintech di MAS, menekankan pentingnya kemitraan erat antara regulator dan industri, yang diwujudkan dalam inisiatif seperti Project Guardian—sebuah proyek bersama untuk meningkatkan likuiditas dan efisiensi pasar keuangan melalui tokenisasi aset.

Sementara stablecoin (mata uang kripto yang nilainya dipatok dengan aset stabil seperti mata uang fiat) disebut-sebut sebagai “poster child” atau bintang poster aset digital di tahun 2025 oleh Yip Kah Kit dari UOB, masa depan yang sesungguhnya justru terletak pada hal yang lebih fundamental.

“Masa depan aset digital dalam perbankan terletak pada deposit bank yang ditokenisasi dan mata uang digital bank sentral,” papar Yip. Dia melanjutkan, “Saya pikir ada juga kelas lain dari uang yang ditokenisasi—deposito bank adalah salah satunya—yang terkait erat dengan operasi internal dan juga terintegrasi dengan sangat baik dengan sistem inti bank pada umumnya.”

Inilah visi jangka panjangnya: sebuah ekosistem finansial yang sepenuhnya terintegrasi, di mana aset tradisional dan digital hidup berdampingan dalam sebuah infrastruktur yang aman, efisien, dan diatur dengan baik. Ketiga bank Singapura ini bukan hanya sedang bermain-main di pinggir; mereka sedang berusaha membangun fondasi untuk sistem keuangan masa depan.


Digionary:

● Aset Tokenisasi (Tokenised Assets): Aset fisik atau finansial (seperti obligasi, real estate) yang telah diubah menjadi token digital sehingga dapat dibagi, diperjualbelikan, dan disimpan di atas jaringan blockchain.
●Blockchain: Buku besar digital terdistribusi yang mencatat transaksi dalam blok-blok yang saling terhubung dan aman, hampir mustahil untuk diubah atau diretas.
●DeFi (Decentralized Finance): Sistem ekosistem keuangan yang dibangun di atas teknologi blockchain, beroperasi tanpa otoritas pusat seperti bank.
●Ethereum: Sebuah platform blockchain open-source yang terkenal dengan fitur smart contract-nya, menjadi fondasi bagi banyak aplikasi terdesentralisasi, termasuk aset tokenisasi.
●KYC (Know Your Customer): Proses verifikasi identitas klien yang wajib dilakukan oleh lembaga keuangan untuk mencegah pencucian uang dan penipuan.
●Stablecoin: Jenis mata uang kripto yang nilainya dipatok (diback-up) dengan aset yang stabil, seperti mata uang fiat (contoh: US Dollar) atau emas, untuk meminimalkan volatilitas harga.
●Smart Contract (Kontrak Pintar): Kontrak digital yang dieksekusi secara otomatis ketika persyaratan yang telah ditentukan dalam kode terpenuhi, tanpa memerlukan perantara.

#DBS#UOB #OCBC #Tokenisasi #AsetDigital #FintechSingapura #Blockchain #RevolusiFinansial #BankDigital #MAS #ProjectGuardian #Ethereum #Stablecoin #DeFi #KYC #CryptoAsia #FintechInnovation #EkonomiDigital #MasaDepanPerbankan #InvestasiMasaDepan

Comments are closed.