Bitcoin kini mencetak rekor tertinggi baru (all-time high), menembus kisaran US$ 125.000 di tengah arus masuk modal besar ke ETF spot dan gejolak politik di AS. Meski sentimen positif tampak menguat, pasar juga menghadapi risiko koreksi bila data ekonomi tertunda menunjukkan kelemahan atau kebijakan moneter berubah arah.
Fokus Utama:
1. Pemicu reli dan arus modal institusional.
2. Risiko lonjakan koreksi akibat data ekonomi tertunda.
3. Proyeksi harga jangka menengah dan strategi investor.
Bitcoin melesat ke rekor tertinggi di atas US$ 125.000, didorong arus masuk dana besar ke ETF spot dan tekanan makro ekonomi AS. Tapi, potensi koreksi tetap mengintai bila data ekonomi mengecewakan. Bagaimana prediksi harga ke depan dan strategi ideal investor.
Bitcoin memecahkan rekor baru di awal Oktober 2025, menyentuh level US$ 125.245,57 menurut laporan Reuters. Sebelumnya, prediksi kurs harian memperkirakan pergeseran volatil dari US$ 114.000 ke US$ 125.000. Alhasil, posisi harga saat ini masih berada di atas US$ 123.000—sementara dalam satu pekan terakhir, kenaikan telah menembus 11 %.
Menurut data terbaru, dana masuk ke ETF Bitcoin spot di AS mencapai sekitar US$ 3,24 miliar pada pekan terakhir, menjadikannya salah satu pekan dengan arus masuk terbesar sepanjang 2025 . Katakanlah investor institusional AS rata-rata melakukan “net buy” lebih dari US$ 1 miliar per hari dalam tiga hari terakhir — angka yang jauh melebihi estimasi sebelumnya.
Fahmi Almuttaqin, analis Reku, menyebut fenomena ini sebagai bagian dari strategi “debasement trade”, yaitu dorongan untuk mencari aset yang tahan terhadap pelemahan USD dan inflasi. “Dalam periode perdagangan 1–3 Oktober, tercatat aliran dana masuk ke instrumen ETF Bitcoin spot mencapai lebih dari US$ 2,28 miliar … terdapat total lebih dari US$ 762 juta net buy Bitcoin dari para investor tradisional AS setiap harinya,” ujarnya.
Di sisi makro, shutdown pemerintah AS yang sudah memasuki minggu kedua menambah tekanan pada pelemahan dolar, sehingga sebagian pelaku pasar memandang ini sebagai peluang bagi The Fed untuk melonggarkan kebijakan moneter lebih cepat. Imbasnya, aset berisiko seperti Bitcoin dan saham teknologi mendapat “lahan subur” untuk tumbuh.
Kendati reli tampak kuat, ketidakpastian menjadi bayang-bayang yang membayangi. Dengan lembaga pemerintah AS yang tutup sebagian, rilis data ekonomi seperti laporan tenaga kerja dan inflasi tertunda. Bila data yang tertunda menunjukkan pelemahan tajam atau lonjakan inflasi, pasar bisa berbalik cepat.
“Bila laporan lapangan kerja yang tertunda nanti menunjukkan pelemahan tajam aksi profit taking bisa meningkat, khususnya pada saham-saham teknologi yang telah mencatat reli panjang.”
Selain itu, analis dari JPMorgan memperkirakan Bitcoin masih punya ruang naik sekitar 40 % lagi, menuju US$ 165.000, bila dukungan modal tetap besar dan kondisi makro tidak memburuk. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa reli agresif tanpa landasan fundamental dapat memicu koreksi tajam, dan bahwa zona psikologis di US$ 100.000 akan menjadi area support penting bila pasar “berubah ke mode risk-off”.
Tren historis dan sejumlah model teknikal memperlihatkan Oktober sebagai bulan yang “kuat” bagi Bitcoin — sering disebut “Uptober” — dengan rata-rata return positif hingga 20 %. Beberapa analis juga memproyeksikan puncak siklus ini bisa terjadi sekitar US$ 150.000 jika momentum tetap terjaga. Namun, CoinCodex secara hati-hati memproyeksikan level tertinggi Oktober di kisaran US$ 128.229, tidak memasukkan skenario ekstrem.
Citigroup, dalam evaluasi terbaru, menaikkan target harga Ethereum tetapi sedikit memangkas proyeksi Bitcoin menjadi US$ 133.000 karena tekanan dari penguatan USD dan melemahnya harga emas . Di sisi lain, analis JPMorgan tetap optimistis terhadap Bitcoin, meski dengan catatan kuatnya arus modal tetap harus dijaga.
Bagi investor pemula, Fahmi menyarankan strategi diversifikasi—baik ke berbagai aset kripto maupun saham AS—serta pemanfaatan fitur otomatis seperti rebalancing untuk menjaga proporsi alokasi investasi. Strategi ini, menurutnya, dapat membuat pendekatan dollar-cost averaging (DCA) lebih mudah, praktis, dan optimal.
Reli Bitcoin menuju rekor baru mencerminkan kombinasi modal besar institusional dan kondisi makro AS yang melambat. Namun, ketidakpastian terkait perlambatan ekonomi dan kebijakan moneter tetap menjadi batu sandungan utama. Bagi investor, strategi yang seimbang dan kesiapan menghadapi volatilitas menjadi kunci. Kalau dorongan dana berhenti dan data ekonomi menyimpang dari ekspektasi, pasar bisa “berubah haluan” dengan cepat.
Digionary:
● All-Time High (ATH): level harga tertinggi yang pernah dicapai sepanjang sejarah suatu aset.
● Debasement Trade: strategi berinvestasi pada aset yang dianggap bisa melindungi nilai di tengah pelemahan mata uang fiat.
● ETF (Exchange Traded Fund) spot: produk investasi yang langsung memegang aset dasar (misalnya Bitcoin) dan memperdagangkannya di bursa.
● Net Buy: selisih antara pembelian dan penjualan aset dalam periode tertentu, jika positif berarti net beli.
● Risk-off: kondisi pasar di mana investor menghindari aset berisiko dan mencari aset aman.
● Support (zona support): level harga di mana tekanan jual diperkirakan melemah, menjadi titik “lantai” potensial.
● Profit taking: aksi menjual aset untuk merealisasikan keuntungan yang telah terbentuk.
● Diversifikasi: strategi menyebar investasi ke berbagai aset untuk mengurangi risiko.
● Rebalancing: penyesuaian kembali proporsi alokasi aset agar sesuai dengan strategi awal.
● DCA (Dollar-Cost Averaging): strategi membeli aset secara periodik dengan jumlah uang tetap untuk meratakan efek fluktuasi harga.
#Bitcoin #Kripto #ETF #Investasi #PasarSaham #Teknologi #Volatilitas #ShutdownAS #Likuiditas #KebijakanMoneter #RisikoKoreksi #Uptober #JPMorgan #StrategiDCA #Diversifikasi #SupportResist #KriptoIndonesia #InstrumenInvestasi #NasionalInvestor #PasarGlobal
