Di tengah penurunan keterlibatan karyawan dan manajer secara global, teknologi AI muncul bukan sekadar alat efisiensi, melainkan ujian kepemimpinan. Tantangan utama bukan pada kecanggihan mesin, melainkan bagaimana perusahaan membangun kepercayaan, memastikan pekerja merasa bernilai, dan menciptakan kultur yang sehat di tengah transformasi digital.
Fokus Utama:
1. Engagement karyawan global turun tajam – hanya 21% karyawan aktif terlibat, dengan kerugian produktivitas global mencapai US$438 miliar.
2. AI memicu dilema kepercayaan di tempat kerja – bukan teknologinya yang ditolak, tetapi kekhawatiran akan kehilangan peran dan diawasi.
3. Kepemimpinan jadi kunci sukses implementasi AI – pemimpin harus membangun trust, melibatkan pekerja dalam desain, dan menegaskan nilai manusia yang tak tergantikan.
Engagement karyawan global anjlok ke 21%, menelan kerugian US$438 miliar. AI bisa jadi solusi atau ancaman, tergantung kepemimpinan. Inilah tantangan membangun kepercayaan di era AI.
AI kini menjadi sorotan utama di ruang kerja, bukan hanya karena kecanggihannya, tetapi juga karena efek sosial yang ditimbulkannya. Data terbaru Gallup menunjukkan keterlibatan karyawan global anjlok ke level terendah pascapandemi, hanya 21%. Bagi perusahaan, ini bukan sekadar soal produktivitas—ini soal kepercayaan, kepemimpinan, dan masa depan hubungan manusia dengan teknologi.
Artificial Intelligence (AI) kerap dipandang sebagai mesin otomatisasi yang bisa memangkas biaya dan mempercepat proses. Namun, sebuah laporan Gallup 2024 memperlihatkan sisi lain: keterlibatan karyawan global turun ke 21%, sementara keterlibatan manajer jatuh dari 30% menjadi 27%. Dampaknya? Kerugian produktivitas diperkirakan mencapai US$438 miliar per tahun.
“Masalahnya bukan teknologi. Masalahnya adalah bagaimana kita memimpin manusia di tengah teknologi,” ujar Bala V. Sathyanarayanan, EVP & CHRO di Greif, Inc.
Menurut Bala, perusahaan terlalu sering terjebak pada strategi besar—slide presentasi, angka efisiensi, dan jargon inovasi—namun lupa membangun konteks manusia. Hasilnya, AI justru memicu kecemasan: pekerja khawatir kehilangan pekerjaan, merasa diawasi, dan takut tak lagi relevan.
Fenomena ini terlihat jelas dalam penerapan teknologi baru di Greif. Saat perusahaan meluncurkan alat otentikasi mobile, karyawan langsung bertanya: “Apakah ini cara perusahaan melacak saya?” Padahal, tujuannya untuk keamanan. “Yang penting bukan niatnya, tapi persepsinya,” tegas Bala.
Di rumah, AI diterima dengan hangat—membuat playlist musik, menulis pesan, hingga mengatur rute perjalanan. Tetapi di tempat kerja, AI justru menimbulkan kecemasan karena dipandang sebagai pengganti manusia.
Meski demikian, ada contoh positif. Bala menuturkan kisah Maria, seorang pemimpin lini produksi dengan pengalaman 17 tahun. Alih-alih menolak predictive maintenance berbasis AI, ia memelajari celah dan kelebihan sistem, lalu menjadi “penerjemah” antara algoritma dan timnya. “AI tidak mengurangi nilainya, justru menampilkannya,” jelas Bala.
Menurut Bala, pemimpin masa depan harus mampu:
● Menghubungkan strategi bisnis dengan realitas pekerja.
● Membuat guardrails yang jelas agar AI mendukung, bukan menggantikan.
●,Merayakan peran manusia yang tak tergantikan: empati, etika, dan kepercayaan.
Gallup mendefinisikan keterlibatan sebagai psychological ownership—rasa kepemilikan terhadap pekerjaan dan keyakinan bahwa suara mereka didengar. Dengan hanya 1 dari 5 karyawan yang terlibat aktif, jelas masalah terbesar bukan pada teknologi, melainkan kepemimpinan.
“AI tidak menentukan masa depan. Manusia yang melakukannya. Dan ketika kita memimpin dengan tujuan, melindungi yang penting, serta mempercayai tim untuk berkembang bersama teknologi, kita tidak hanya mengelola disrupsi. Kita menciptakan kemajuan yang layak dipercaya,” tutup Bala.
Digionary:
● AI (Artificial Intelligence): Kecerdasan buatan, sistem komputer yang mampu meniru fungsi kognitif manusia.
● Engagement: Tingkat keterlibatan, motivasi, dan rasa kepemilikan karyawan terhadap pekerjaannya.
● Gallup: Lembaga riset global yang banyak melakukan survei tentang opini publik, termasuk keterlibatan kerja.
● Guardrails: Aturan pembatas yang dirancang untuk memastikan penggunaan teknologi tetap aman dan terarah.
● Predictive Maintenance: Teknologi prediktif yang menggunakan AI untuk memantau dan memperkirakan kapan mesin atau peralatan akan membutuhkan perawatan.
● Psychological Ownership: Rasa kepemilikan psikologis atas pekerjaan, membuat karyawan merasa pekerjaannya penting dan berdampak.
● Productivity Loss: Kerugian ekonomi akibat turunnya kinerja atau output kerja.
● Trustwork: Istilah yang merujuk pada kerja membangun kepercayaan di organisasi.
#ArtificialIntelligence #FutureOfWork #EmployeeEngagement #Kepemimpinan #GallupReport #AIWorkplace #TrustInTech #DigitalTransformation #HumanVsMachine #AIinBusiness #WorkCulture #LeadershipMatters #PsychologicalOwnership #ProductivityCrisis #AITrends #WorkplaceTrust #TechAndHumanity #HRLeadership #CorporateCulture #AIIndonesia
