Euforia “demam emas” kecerdasan buatan mulai mereda. Perusahaan kini tidak lagi berlomba membeli sebanyak mungkin alat AI, melainkan mencari cara menyatukan, mengoordinasikan, dan memaksimalkan teknologi yang sudah ada agar benar-benar berdampak pada pendapatan. Era baru AI bukan milik pemburu alat, melainkan para “orchestrator” — mereka yang mampu menjadikan AI sebagai sistem saraf bisnis yang bekerja lintas kanal, lintas tim, dan lintas data.
Fokus Utama:
■ Era “beli sebanyak mungkin alat AI” berakhir, digantikan tuntutan dampak bisnis nyata.
■ Rendahnya utilisasi martech menyingkap kebutuhan orkestrasi lintas sistem.
■ Pemimpin masa depan adalah “builder” yang menjadikan AI sistem saraf organisasi.
Demam emas AI berakhir. Dunia bisnis memasuki era baru, di mana orkestrasi—bukan sekadar alat—menentukan siapa yang benar-benar menuai hasil dari kecerdasan buatan.
Dua tahun terakhir dunia bisnis larut dalam euforia kecerdasan buatan. Semua dibeli, semua dicoba. Namun kini suasananya berubah. Perusahaan tak lagi terkesima oleh demo AI yang mengilap, melainkan mulai bertanya dengan nada lebih dingin: apakah teknologi ini benar-benar bekerja, terhubung dengan sistem yang ada, dan mendongkrak pendapatan?
Selama dua tahun terakhir, dunia pemasaran dan teknologi berada dalam apa yang bisa disebut sebagai “demam emas AI”. Logikanya sederhana: siapa yang paling cepat membeli dan mencoba, dialah yang akan unggul. Ukurannya pun longgar—selama AI bisa menghasilkan sesuatu yang terlihat canggih, ia dianggap sukses. FOMO menjadi bahan bakar utama.
Namun fase itu mulai berakhir. Sejumlah sinyal menunjukkan pasar sedang “naik kelas”. Salah satunya datang dari Microsoft, yang belakangan menyesuaikan target pertumbuhan penjualan AI-nya. Alih-alih menandakan melemahnya permintaan, langkah ini justru mencerminkan perubahan ekspektasi pelanggan enterprise: AI harus bisa masuk ke sistem bisnis nyata, bukan sekadar menjanjikan potensi.
Pertanyaan para pemimpin pun berubah. Bukan lagi “apa saja yang bisa dilakukan AI?”, melainkan: apakah ini bekerja di bisnis kami? apakah terhubung dengan sistem yang sudah ada? dan apakah berdampak langsung pada revenue?
Pasar AI yang Dewasa, Bukan Melemah
Data menunjukkan adopsi AI tetap tinggi, meski perilaku pengguna makin selektif. Hampir 40% konsumen di Amerika Serikat telah mencoba AI generatif, tetapi hanya sekitar separuh yang menggunakannya secara rutin, menurut eMarketer. Loyalitas terhadap platform pun cair. Pangsa trafik global ChatGPT turun dari 86,6% menjadi 72,3% dalam setahun, sementara Google Gemini melonjak hingga 13,7%.
Bagi pemasar, volatilitas ini bukan sekadar dinamika platform, melainkan peringatan: ketergantungan pada satu alat atau satu vendor menjadi semakin berisiko. Di sinilah orkestrasi menjadi krusial.
Ironisnya, kemampuan teknologi justru melimpah. Lanskap teknologi pemasaran kini mencakup 15.384 solusi, naik 9% dibandingkan tahun lalu, menurut ChiefMartec. Namun pemanfaatannya justru menurun. Gartner mencatat, tingkat utilisasi martech kini hanya sekitar 33%. Artinya, perusahaan membayar penuh, tetapi hanya memetik sepertiga manfaatnya.
Selama era demam emas, perusahaan membeli solusi titik demi titik: satu alat untuk copywriting, satu untuk kreatif, satu untuk bidding. Setiap tim punya perangkat sendiri. Hasilnya, organisasi penuh solois brilian, tetapi tanpa konduktor.
Fenomena ini melahirkan apa yang disebut pilot theater: demo AI yang tampak mengesankan, namun gagal memberikan ROI karena terjebak dalam silo.
Dampaknya nyata di laporan laba rugi. Kampanye CTV memicu lonjakan pencarian merek hingga 40%, tetapi tim search tidak punya mekanisme otomatis untuk mengalihkan anggaran. Prospek menunjukkan minat beli tinggi, tetapi sistem retargeting justru menampilkan iklan generik. Tim penjualan kehilangan peluang karena konten penutup transaksi tak pernah diprioritaskan.
Tekanan untuk memperbaiki kondisi ini makin besar. Sekitar 86% CEO mengharapkan ROI AI dalam tiga tahun ke depan, menurut eMarketer. Dalam konteks ini, pilot yang “sekadar menarik” bukan lagi cukup. Kesenjangan orkestrasi telah menjadi risiko pendapatan.
Dari Otomasi ke Orkestrasi Agentic
Banyak pemimpin masih menyamakan otomasi dengan orkestrasi. Padahal keduanya berbeda. Otomasi bersifat kaku: jika X terjadi, lakukan Y. Orkestrasi bersifat adaptif: capai tujuan Z dengan memanfaatkan kondisi dan alat terbaik yang tersedia.
Di era AI agentic, sistem tidak hanya menghasilkan konten, tetapi juga mengamati, mengoordinasikan, dan mengoptimalkan alur kerja lintas kanal. Orkestrasi menjadi semacam sistem saraf bisnis—menginterpretasikan sinyal, lalu memicu tindakan terbaik secara real time.
Strategi ini juga menjadi cara bertahan hidup. Banyak platform AI kecil menghadapi tekanan pendanaan seiring menipisnya kesabaran investor. Bertaruh pada satu vendor kian berisiko. Orkestrasi adaptif memberi fleksibilitas saat ekosistem berubah.
Tanda lain dari perubahan ini terlihat dari dalam organisasi. Laporan 2025 State of Martech mencatat lonjakan platform internal buatan sendiri dari 2% menjadi 10% hanya dalam setahun—kenaikan lima kali lipat. Tim pemasaran mulai bertransformasi menjadi tim produk. Penggunaan alat manajemen produk melonjak dari 23% menjadi 42%, tertinggi di antara kategori martech lain.
Ekosistem siap pakai tak cukup cepat menyelesaikan masalah koordinasi. Maka para pemimpin membangunnya sendiri.
Fenomena ini paralel dengan persaingan platform AI global. Google Gemini melesat berkat integrasi mendalam dengan mesin pencari, browser, dan sistem operasi mobile—keunggulan struktural yang sulit ditandingi pesaing. Pesannya jelas: integrasi mengalahkan volume.
Era Dirigen Dimulai
Narasi bahwa penyesuaian pasar ini menandai pecahnya gelembung AI keliru. Yang berakhir bukan AI, melainkan “wisata AI”—fase coba-coba tanpa arah. Di era baru ini, pertumbuhan tidak bisa dipaksa dengan menambah alat. Ia harus diorkestrasi dengan kecerdasan. Keunggulan kompetitif akan datang dari kemampuan membangun sistem AI yang peka terhadap sinyal, mampu bereaksi lintas kanal, dan bergerak lebih cepat dari peluang yang lewat. Demam emas telah usai. Era produksi telah dimulai. Dan panggung kini milik para orchestrator.
Digionary:
● Agentic AI: Sistem AI yang mampu bertindak mandiri dan adaptif
● AI Generatif: AI yang menghasilkan konten seperti teks, gambar, atau kode
● ChiefMartec: Platform riset lanskap teknologi pemasaran global
● CTV (Connected TV): Iklan televisi berbasis internet
● Martech: Teknologi pendukung aktivitas pemasaran
● Orkestrasi AI: Koordinasi AI lintas sistem dan kanal
● Pilot Theater: Uji coba AI yang terlihat canggih tapi minim dampak bisnis
● ROI: Pengembalian investasi
● Vendor Lock-in: Ketergantungan berlebihan pada satu penyedia teknologi
#ArtificialIntelligence #AIEnterprise #TransformasiDigital #Martech #OrkestrasiAI #AgenticAI #BisnisDigital #TeknologiPemasaran #AIAdoption #DigitalStrategy #FutureOfWork #AITrends #DataDriven #CorporateInnovation #TechLeadership #AIROI #MarketingTechnology #DigitalEconomy #BusinessTransformation #AIOrchestration
