Revolusi atau Gelembung? US$3 Triliun Mengalir ke Pusat Data AI

- 30 September 2025 - 15:57

Ledakan investasi pusat data kecerdasan buatan (AI) tengah mengguncang dunia. Morgan Stanley memperkirakan US$3 triliun akan digelontorkan hingga 2029—setara dengan PDB Prancis—untuk membangun fasilitas yang menelan listrik setara jutaan rumah dan air dalam volume besar. Namun di balik optimisme, muncul pertanyaan: apakah pusat data AI benar-benar revolusi teknologi atau sekadar gelembung baru?


Fokus Utama:

1. Investasi Masif – Hingga 2029, diproyeksikan US$3 triliun mengalir untuk pembangunan pusat data AI, setara PDB Prancis.
2. Tantangan Energi dan Lingkungan – Konsumsi listrik setara jutaan rumah tangga dan kebutuhan air masif memicu kontroversi.
3. Prospek vs Gelembung – Sebagian menyebutnya “bragawatts”, namun AI dipandang bisa lebih berdampak dibandingkan internet.


Investasi US$3 triliun akan mengalir ke pusat data AI hingga 2029. Konsumsi listrik dan air masif menimbulkan kontroversi, sementara para ahli memperdebatkan apakah ini revolusi teknologi atau gelembung baru.

Ledakan pembangunan pusat data kecerdasan buatan (AI) tengah menjadi fenomena global. Laporan Morgan Stanley memperkirakan sekitar US$3 triliun akan digelontorkan hingga 2029 untuk infrastruktur ini—setengah untuk konstruksi, setengah lagi untuk perangkat keras mutakhir, terutama chip Nvidia yang kini menjadi tulang punggung revolusi AI.

Nilai tersebut setara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Prancis pada 2024. Inggris saja memproyeksikan lebih dari 100 pusat data baru, termasuk fasilitas milik Microsoft yang baru saja mengumumkan investasi US$30 miliar untuk sektor AI.

Mengapa Pusat Data AI Berbeda?

Berbeda dengan pusat data konvensional yang menyimpan foto, media sosial, atau aplikasi kantor, pusat data AI harus memproses miliaran parameter secara paralel. Chip Nvidia seharga sekitar US$4 juta per kabinet dipasang sangat rapat untuk mengurangi jeda nanodetik. Jarak antar chip sekecil apa pun bisa menurunkan performa, sehingga kepadatan menjadi kunci.

“Pusat data biasa hanya terdengar seperti dengungan halus di latar belakang, jika dibandingkan dengan beban yang ditimbulkan oleh AI pada jaringan listrik,” ujar Daniel Bizo dari Uptime Institute. Ia menambahkan, “Beban kerja tunggal sebesar ini belum pernah terjadi sebelumnya… tantangannya ekstrem, seperti program Apollo.”

Lapar Energi, Lapar Air

Tingkat konsumsi energi pusat data AI melonjak hingga gigawatt. Menurut International Energy Agency (IEA), penggunaan listrik pusat data global bisa naik 160% pada 2030 akibat lonjakan beban AI.

Tak hanya listrik, kebutuhan air juga mengkhawatirkan. Pendinginan chip memerlukan pasokan air dalam jumlah besar. Di negara bagian Virginia, AS, rancangan aturan tengah digodok untuk membatasi pembangunan pusat data berdasarkan konsumsi air. Di Inggris, proyek pusat data AI di Lincolnshire bahkan ditolak Anglian Water. Perusahaan itu menilai pendinginan seharusnya memakai air daur ulang, bukan air minum.

Raksasa teknologi mencoba mencari solusi. Microsoft bekerja sama dengan Constellation Energy untuk menghidupkan kembali energi nuklir di Three Mile Island. Google menargetkan operasional bebas karbon 100% pada 2030, sementara Amazon Web Services mengklaim sebagai pembeli energi terbarukan korporasi terbesar di dunia.

CEO Nvidia Jensen Huang bahkan menyebut AI dapat membantu mempercepat transisi energi. “Dalam jangka pendek di Inggris, saya berharap lebih banyak turbin gas bisa digunakan di luar jaringan utama agar tidak membebani masyarakat,” ujarnya. “AI sendiri akan merancang turbin gas, panel surya, turbin angin, dan energi fusi yang lebih baik untuk menghasilkan energi berkelanjutan dengan biaya lebih efisien.”

Gelembung atau Masa Depan?

Meski booming, keraguan tetap ada. Zahl Limbuwala dari DTCP menyebut fenomena ini sebagai “bragawatts”—indikasi klaim berlebihan tentang kapasitas pusat data. “Arah perkembangan saat ini sulit dipercaya. Memang banyak gembar-gembor. Namun, investasi tetap harus memberikan imbal hasil atau pasar akan mengoreksi dirinya sendiri,” ujarnya.

Namun, Limbuwala menegaskan AI adalah fenomena berbeda. “AI akan memberikan dampak lebih besar dibandingkan teknologi sebelumnya, termasuk internet. Jadi sangat mungkin kita memang membutuhkan semua gigawatt itu.” Ia bahkan menyebut pusat data AI sebagai “properti nyata di dunia teknologi,” berbeda dengan gelembung dotcom 1990-an yang tak punya basis fisik.

Apakah pusat data AI akan menjadi pilar ekonomi digital masa depan atau sekadar euforia sementara, hanya waktu yang bisa menjawab.


Digionary:

● AI (Artificial Intelligence): Kecerdasan buatan, teknologi yang meniru kemampuan manusia dalam berpikir dan belajar.
● Bragawatts: Istilah sinis untuk klaim berlebihan tentang kapasitas pusat data AI.
● Chip Nvidia: GPU canggih untuk melatih model AI.
● Data Centre: Fasilitas penyimpanan dan pemrosesan data skala besar.
● Gigawatt (GW): Satuan daya listrik setara 1 miliar watt.
● Hyperscale: Pusat data berskala sangat besar dengan konsumsi daya puluhan megawatt hingga gigawatt.
● IEA (International Energy Agency): Lembaga internasional pemantau kebijakan energi global.
● Latency: Keterlambatan waktu dalam pemrosesan data.
● LLM (Large Language Model): Model bahasa besar untuk melatih AI dalam memahami teks.
● Off-grid: Sistem listrik yang tidak terhubung ke jaringan umum.

#ArtificialIntelligence #PusatDataAI #AIInvestment #TechInfrastructure #DigitalEconomy #CloudComputing #BigData #AIChip #Hyperscale #MicrosoftAI #GoogleCloud #AmazonAWS #Sustainability #GreenTech #EnergyCrisis #NuclearEnergy #RenewableEnergy #FutureOfAI #DigitalTransformation #AIRevolution

Comments are closed.