Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi kelonggaran waktu terkait kewajiban peningkatan ekuitas minimum berdasarkan POJK 23/2023, karena sejumlah perusahaan belum siap secara modal. Dalam surat akademis yang diajukan, AAUI menyoroti tekanan makro-ekonomi serta beban regulasi lain seperti PSAK 117. Meski 75% perusahaan telah memenuhi persyaratan per Agustus 2025, AAUI masih menilai relaksasi diperlukan sebagai langkah realistis untuk menjaga stabilitas dan daya saing industri.
Fokus Utama:
- Upaya AAUI meminta relaksasi waktu pemenuhan ekuitas minimum.
- Polemik antara kebutuhan penguatan modal dan kesiapan sebagian perusahaan asuransi.
- Sikap OJK dan tantangan struktural industri asuransi dalam transisi regulasi.
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) kembali mengirim sinyal kuat: sejumlah perusahaan asuransi umum dan reasuransi berisiko gagal memenuhi kewajiban ekuitas minimum jika tenggat 2026 sesuai POJK 23/2023 tidak diperlonggar. Dalam surat yang diserahkan ke OJK di sela acara Indonesia Rendezvous 2025 (15–17 Oktober), AAUI memaparkan hasil kajian akademis yang menilai kondisi industri saat ini sebagai sangat menantang.
Menurut Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, permintaan relaksasi bukan penolakan terhadap regulasi permodalan—melainkan upaya realistis agar industri tetap sehat dan kompetitif. “Ya intinya kita sampaikan panjang lebar … kondisi mikro makro yang menjadi landasan kenapa kita minta relaksasi waktu,” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (20/11/2025).
Tantangan Modal Industri Asuransi
AAUI mencatat masih ada sekitar 5–10 anggotanya yang belum mencapai ekuitas minimum perhitungan POJK 23/2023 untuk 2026. Skema kenaikan modal minimum tersebut cukup agresif: untuk asuransi umum ditetapkan naik dari Rp 150 miliar menjadi Rp 250 miliar, sedangkan reasuransi naik ke Rp 500 miliar. Untuk asuransi dan reasuransi syariah pun ada target modal yang lebih tinggi di tahap selanjutnya.
Sementara itu, sektor asuransi umum tengah dibelit sejumlah tekanan: ekonomi lesu, paralel implementasi standar akuntansi (PSAK 117) dengan PSAK 104, serta tantangan likuiditas. AAUI memandang bahwa meski peraturan modal ini memang penting untuk memperkuat daya tahan perusahaan, waktu implementasi harus realistis agar tidak justru memicu keguncangan.
Respons dan Sikap OJK
Dari sisi regulator, OJK tetap tegas pada kebijakan peningkatan modal. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun, Ogi Prastomiyono, menyatakan bahwa belum ada relaksasi resmi terkait penundaan ekuitas minimum.
Menurut OJK, aturan itu bukan untuk mematikan usaha asuransi: jika perusahaan kecil kesulitan, mereka bisa bergabung dalam Kelompok Usaha Perusahaan Asuransi (KUPA) bersama entitas asuransi yang lebih kuat sebagai induk. Dalam catatan OJK per Juli 2025, 109 dari 144 perusahaan asuransi dan reasuransi (± 75,7 %) telah memenuhi ekuitas minimum tahap pertama.
Selain modal, OJK juga menyoroti kewajiban perusahaan untuk merekrut tenaga aktuaris. Sampai Maret 2025, enam perusahaan masih belum memiliki aktuaria lengkap.
Rekomendasi Pakar untuk Industri
Sejumlah pengamat asuransi memberi masukan pragmatis. Dedy Kristianto, misalnya, menyarankan agar perusahaan-perusahaan yang kesulitan modal mempertimbangkan efisiensi biaya, merger, atau mencari investor eksternal. Langkah ini dinilai lebih sehat daripada menunda reformasi permodalan yang sejatinya juga bertujuan memperkuat industri.
AAUI sendiri dalam kajian akademisnya menegaskan bahwa relaksasi tidak harus “satu ukuran untuk semua”. Budi menyatakan bahwa tidak semua perusahaan harus dibebaskan dari relaksasi — hanya mereka yang benar-benar kesulitan, sementara yang kuat tetap harus menaati regulasi.
Makna dan Implikasi
- Stabilitas industri: Jika relaksasi dikabulkan, risiko kegagalan beberapa perusahaan kecil bisa dicegah — tetapi jangka pendeknya ada concern moral hazard.
- Perlindungan pemegang polis: Modal yang lebih kuat penting untuk menjamin bahwa perusahaan asuransi tetap mampu menanggung risiko klaim di masa depan.
- Efisiensi jangka panjang: Tekanan modal bisa mendorong konsolidasi (merger) atau restrukturisasi yang pada akhirnya memperkuat struktur industri.
Digionary:
● AAUI: Asosiasi Asuransi Umum Indonesia, organisasi payung bagi perusahaan asuransi umum di Indonesia.
● OJK: Otoritas Jasa Keuangan, regulator sektor jasa keuangan di Indonesia.
● POJK 23/2023: Peraturan OJK tentang izin usaha dan kelembagaan perusahaan asuransi dan reasuransi, mensyaratkan ekuitas minimum.
● Ekuitas minimum / modal minimum: Modal yang harus dimiliki perusahaan agar stabil dan dapat menanggung risiko, seperti klaim.
● KUPA: Kelompok Usaha Perusahaan Asuransi — struktur afiliasi di mana perusahaan kecil bisa bergabung dengan induk yang lebih besar.
● PSAK 117: Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan untuk kontrak asuransi, mengatur cara pencatatan kewajiban asuransi.
● Aktuaris: Profesional yang menghitung risiko asuransi dan menyusun cadangan keuangan.
● Merger: Penggabungan dua perusahaan atau lebih menjadi satu entitas perusahaan baru.
● Relaksasi waktu: Permintaan untuk memperpanjang tenggat waktu pemenuhan aturan dari regulator.
● Moral hazard: Risiko bahwa entitas akan mengambil risiko lebih besar karena merasa akan diselamatkan jika gagal.
#asuransi #OJK #AAUI #POJK23 #modalminimum #industriasuransi #ekuitas #regulasi #relaksasi #permodalan #stabilitas #asuransiumum #asuransisyariah #restrukturisasi #merger #perlindunganpolis #keuangan #risiko #aktuaris #konsolidasi
