Industri keuangan global mulai meninggalkan romantisme blockchain “tanpa kepercayaan”. Temuan terbaru Citi menunjukkan bahwa identitas digital, kepatuhan, dan manajemen risiko kini menjadi kunci utama agar blockchain bisa dipakai serius oleh perbankan dan lembaga keuangan. Tanpa identitas yang terverifikasi, blockchain akan tetap menjadi proyek eksperimental. Dengan identitas, teknologi ini berpotensi menjadi tulang punggung baru sistem pembayaran lintas negara, settlement antarbank, dan pasar keuangan global.
Fokus Utama:
■ Identitas digital menjadi prasyarat mutlak agar blockchain bisa dipakai perbankan.
■ Adopsi blockchain institusional bergerak bertahap, fokus pada use case berisiko rendah.
■ Tantangan utama bergeser ke privasi, interoperabilitas, dan tata kelola jaringan.
Blockchain pernah dijanjikan sebagai sistem keuangan tanpa perantara dan tanpa kepercayaan. Namun bagi perbankan global, narasi itu justru menjadi penghalang. Citi kini menegaskan satu hal: masa depan blockchain keuangan tidak ditentukan oleh anonimitas, melainkan oleh identitas.
Sejak awal kemunculannya, blockchain dibangun di atas gagasan “trustless system”—sebuah mekanisme di mana kriptografi dan konsensus menggantikan peran bank, regulator, dan otoritas terpusat. Konsep ini mungkin memikat komunitas kripto, tetapi bagi lembaga keuangan, pendekatan tersebut justru memicu alarm risiko.
Dalam sistem keuangan global, kepercayaan bukan untuk dihapus, melainkan diformalkan, diaudit, dan diawasi. Tanpa itu, pergerakan uang, perdagangan lintas negara, dan stabilitas pasar tidak mungkin terjadi.
Temuan ini ditegaskan dalam Blockchain and Digital Assets Tracker® Series edisi Desember 2025, hasil kolaborasi PYMNTS Intelligence dan Citi. Laporan tersebut menunjukkan pergeseran mendasar: solusi blockchain kini dibangun dengan identitas, kepatuhan, dan kontrol risiko yang tertanam langsung di dalam jaringan.
Citi menilai, tanpa sistem identitas dan keamanan terintegrasi, blockchain tidak akan pernah melampaui tahap uji coba di pasar yang diatur ketat. Sebaliknya, ketika identitas menjadi fondasi, blockchain justru dapat beroperasi di dalam kerangka regulasi, bukan di luarnya.
Hasilnya adalah kemunculan generasi baru jaringan blockchain institusional—tetap efisien seperti distributed ledger, tetapi memenuhi standar infrastruktur keuangan yang bersifat sistemik.
Selama ini, diskusi keamanan blockchain kerap berfokus pada kustodian aset digital: bagaimana aset disimpan, diamankan, dan diasuransikan. Namun laporan Citi menegaskan bahwa tantangan sesungguhnya ada di tempat lain—siapa yang bertransaksi dan dalam konteks apa.
Bagi bank dan lembaga keuangan, tantangan terbesar bukan mengintegrasikan teknologi blockchain, melainkan mendapatkan persetujuan internal. Komite risiko, unit kepatuhan, auditor, hingga regulator harus diyakinkan bahwa sistem baru tidak menciptakan eksposur berlebihan.
“Dalam keuangan tradisional, identitas adalah fondasi,” tulis laporan tersebut. Setiap rekening, transaksi, dan hubungan antar-pihak terikat pada proses Know Your Customer (KYC), Anti-Money Laundering (AML), dan penyaringan sanksi internasional.
Itulah sebabnya adopsi blockchain oleh institusi berlangsung bertahap dan sangat selektif. Fokus awal diarahkan pada use case dengan kepastian regulasi tinggi dan manfaat operasional yang terukur, seperti pergerakan likuiditas internal, settlement antarbank, manajemen agunan, hingga administrasi dana investasi.
Pembayaran Lintas Negara Masih Jadi Target
Pembayaran dan settlement lintas negara tetap menjadi area paling menjanjikan, khususnya di segmen wholesale banking. Jaringan blockchain yang sadar identitas dinilai mampu menurunkan risiko pihak lawan dan friksi kepatuhan, sekaligus mempercepat transaksi antar-yurisdiksi yang selama ini bergantung pada rantai koresponden bank yang lambat dan tidak transparan.
Namun, integrasi identitas juga membawa konsekuensi. Privasi menjadi isu utama. Institusi harus menyeimbangkan kebutuhan transparansi bagi regulator dengan kerahasiaan data klien.
Teknologi seperti zero-knowledge proofs dan selective disclosure mulai dilirik sebagai solusi, meski masih dianggap kompleks dan belum familier bagi banyak tim risiko.
Tantangan lain adalah interoperabilitas. Semakin banyak jaringan yang bersifat permissioned, semakin besar risiko fragmentasi. Industri kini dituntut membangun kerangka identitas yang dapat saling terhubung, bukan menciptakan ekosistem tertutup.
Transformasi ini mungkin tidak seatraktif narasi kripto generasi awal. Namun justru di sinilah dampak sesungguhnya. Dengan menyelaraskan blockchain dengan realitas regulasi dan manajemen risiko, sektor keuangan sedang membangun fondasi adopsi jangka panjang yang berkelanjutan. Citi menegaskan identitas digital kini menjadi kunci utama adopsi blockchain di perbankan global, menggantikan anonimitas yang berisiko.
Digionary:
● AML: Anti-Money Laundering, sistem pencegahan pencucian uang
● Blockchain Institusional: Blockchain yang dirancang khusus untuk lembaga keuangan
● Distributed Ledger: Basis data terdistribusi tanpa otoritas tunggal
● Interoperabilitas: Kemampuan sistem berbeda untuk saling terhubung
● KYC: Know Your Customer, proses verifikasi identitas nasabah
● Permissioned Blockchain: Blockchain dengan akses terbatas dan terverifikasi
● Selective Disclosure: Pembukaan data secara terbatas sesuai kebutuhan
● Zero-Knowledge Proof: Metode kriptografi tanpa membuka data inti
#Blockchain #DigitalIdentity #Citi #PerbankanGlobal #Fintech #Compliance #KYC #AML #PembayaranLintasNegara #BlockchainInstitusional #KeamananDigital #FinancialInfrastructure #RegulasiKeuangan #AsetDigital #DistributedLedger #DigitalBanking #RiskManagement #TrustEconomy #BlockchainFinance #DigitalTransformation
