Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan baru yang membatasi jumlah saham yang dapat dipesan oleh seorang investor ritel dalam penawaran umum perdana (IPO) maksimal 10% dari total nilai efek yang ditawarkan. Aturan ini bertujuan menciptakan kesetaraan kesempatan dan mencegah dominasi investor tertentu, sekaligus menanggapi keluhan investor ritel yang kerap mendapat jatah sangat kecil dalam penjatahan terpusat.
Fokus Utama:
■ OJK menerbitkan aturan tegas yang membatasi total pesanan saham IPO oleh seorang investor ritel maksimal 10% dari total nilai efek yang ditawarkan, dengan mekanisme penolakan otomatis terhadap pesanan yang melampaui batas.
■ Aturan ini secara langsung ditujukan untuk mengatasi keluhan investor ritel kecil yang kerap mendapat jatah minimal dalam penjatahan terpusat, sekaligus mencegah dominasi oleh investor ritel bermodal besar.
■ Aturan baru ini merevisi SE OJK No. 15/2020 dan menandai pergeseran OJK dari regulator prosedural menjadi regulator yang aktif menciptakan level playing field, dengan implikasi langsung terhadap strategi investasi ritel dan dinamika bookbuilding IPO.
Gelombang penawaran umum perdana (IPO) yang melanda pasar modal Indonesia beberapa tahun terakhir kerap diwarnai keluhan sama dari investor ritel: jatah saham yang didapat terlalu sedikit, bahkan kerap nihil. Kekecewaan itu muncul karena mekanisme penjatahan terpusat sebelumnya dianggap kurang mengakomodasi kesetaraan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini mengambil langkah korektif.
Melalui Surat Edaran Nomor 25/SEOJK.04/2025, regulator pasar modal itu secara resmi membatasi total pesanan saham yang dapat diajukan oleh seorang investor ritel dalam satu IPO maksimal sebesar 10% dari total nilai efek yang ditawarkan. Aturan ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan sebuah intervensi kebijakan yang bermaksud mendemokratisasikan akses terhadap saham-saham segar di pasar modal.
Pasar modal Indonesia yang sedang tumbuh pesat mendapat pengawasan dan penyesuaian regulasi yang lebih ketat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi menerbitkan aturan baru mengenai mekanisme penjatahan saham dalam penawaran umum perdana (IPO). Aturan yang tertuang dalam Surat Edaran OJK No. 25/SEOJK.04/2025 ini secara eksplisit membatasi kekuatan pemesan dari kalangan investor ritel.
Inti dari aturan baru ini adalah pembatasan kumulatif. “Total nilai minat dan/atau pesanan yang disampaikan oleh setiap calon pemodal secara kumulatif tidak melebihi paling banyak 10% dari nilai keseluruhan Efek yang ditawarkan,” bunyi salah satu pasal dalam surat edaran tersebut, seperti dikutip Selasa (2/12). Artinya, semua minat beli yang masuk dari satu orang investor, melalui berbagai kanal atau sekuritas yang berbeda, akan digabungkan dan tidak boleh melebihi batas 10% tersebut.
Mekanisme dan Contoh Penerapan
Secara teknis, jika seorang investor mengajukan pemesanan melebihi batas 10%, pesanan tersebut tidak akan diproses sistem. Pemesanan akan “dikembalikan” kepada investor untuk disesuaikan dengan batas yang diizinkan, dan investor tetap diberi kesempatan mengajukan kembali pesanan yang sudah dikoreksi.
Untuk memberikan gambaran konkret, dalam IPO suatu emiten dengan target penghimpunan dana (proceeds) sebesar Rp 105 miliar, nilai maksimal yang boleh dipesan oleh satu investor ritel adalah Rp 10,5 miliar. Pemesanan senilai Rp 11 miliar, misalnya, akan otomatis ditolak sistem pada tahap verifikasi.
Aturan ini lahir dari kegelisahan yang lama mengendap. Dalam banyak IPO sebelumnya, terutama untuk emiten yang sangat diminati (oversubscribed puluhan kali lipat), investor ritel kecil kerap hanya mendapat jatah beberapa lot, atau bahkan tidak kebagian sama sekali. Sementara itu, investor ritel dengan modal besar yang mampu memesan melalui banyak saluran atau sekuritas berpotensi menguasai porsi yang tidak proporsional dari alokasi penjatahan terpusat.
“Aturan ini menjawab keluhan para investor ritel yang kerap mendapat jumlah lot yang sedikit saat IPO,” jelas artikel dari Katadata yang melaporkan terbitnya aturan ini. Dengan membatasi kekuatan setiap individu, OJK berharap distribusi saham dalam penjatahan terpusat menjadi lebih merata, sehingga lebih banyak investor kecil yang mendapat jatah.
Perubahan dari Aturan Sebelumnya
Aturan baru ini menggantikan ketentuan yang sebelumnya mengacu pada SE OJK No. 15/SEOJK.04/2020. Aturan lama lebih fokus pada mekanisme teknis verifikasi dana dan alokasi, tanpa menyentuh batasan kuantitatif atas pesanan per investor. Perubahan ini menandakan pergeseran paradigma regulator dari sekadar mengatur prosedur menuju intervensi aktif untuk menciptakan keadilan (fairness) di pasar.
Aturan 10% ini dipandang sebagai langkah positif untuk menciptakan level playing field. Namun, penerapannya juga menghadirkan tantangan. Investor ritel yang selama ini mengandalkan strategi “membludak” dengan memesan melalui beberapa sekuritas untuk meningkatkan peluang kini harus memikirkan ulang taktik mereka.
Di sisi lain, aturan ini berpotensi mempengaruhi dinamika permintaan (demand) dalam bookbuilding. Emiten dan penjamin emisi (underwriter) perlu memperkirakan kembali potensi minat dari investor besar. Yang tak kalah penting, aturan ini perlu disosialisasikan dengan baik agar tidak menimbulkan kebingungan di kalangan investor, terutama menjelang IPO-emiten menarik seperti yang antre saat ini.
OJK mencatat setidaknya ada 20 perusahaan yang sedang mengantre IPO dengan target total dana Rp 10,33 triliun. Aturan baru ini akan segera diuji dalam gelombang IPO tersebut, menjadi penanda apakah kebijakan ini benar-benar mampu menciptakan iklim berinvestasi yang lebih inklusif dan adil bagi seluruh pelaku pasar. (09)
Digionary:
● Bookbuilding: Proses penjajakan dan pengumpulan minat investasi dari calon investor untuk menentukan harga penawaran saham dalam suatu IPO.
● Efek: Surat berharga yang dapat diperjualbelikan, seperti saham, obligasi, atau reksa dana.
● IPO (Initial Public Offering): Penawaran Umum Perdana, yaitu penjualan saham suatu perusahaan kepada publik untuk pertama kalinya di bursa efek.
● Oversubscribed: Kondisi dimana jumlah permintaan (order) saham dalam sebuah IPO melebihi jumlah saham yang ditawarkan.
● Penjatahan Terpusat: Mekanisme alokasi saham IPO untuk investor ritel yang dilakukan secara terpusat oleh Bursa Efek Indonesia setelah periode pemesanan berakhir.
● Underwriter (Penjamin Emisi): Lembaga (biasanya sekuritas) yang menjamin terjualnya saham dalam emisi efek dan membantu emiten memenuhi berbagai persyaratan IPO.
#OJK#IPO #Saham #Investasi #PasarModal #InvestorRitel #BEI #AturanBaru #SuratEdaranOJK #Finansial #Ekuitas #BursaEfek #CapitalMarket #PenawaranSaham #LimitPemesanan #DemokratisasiPasar #LevelPlayingField #InvestasiSaham #Regulasi #Underwriter
