Tiga ekonom peraih Nobel Ekonomi 2025—Philippe Aghion,Joel Mokyr, dan Peter Howitt—memperingatkan bahwa kepemimpinan teknologi dan adopsi kecerdasan buatan menjadi penentu utama kekuatan ekonomi modern, sambil mengkritik keras kebijakan proteksionisme dan pembatasan riset yang dapat memicu stagnasi ekonomi global, dengan bukti data menunjukkan 68% pertumbuhan ekonomi global lima tahun terakhir bersumber dari inovasi berbasis AI.
Fokus Utama:
1. Kepemimpinan teknologi dan AI sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi modern.
2. Kritik terhadap kebijakan proteksionisme dan pembatasan riset yang hambat inovasi.
3. Peringatan tentang ketertinggalan Eropa dan pentingnya ekosistem inovasi yang terbuka.
Di tengah pusaran perang dagang dan revolusi kecerdasan buatan yang mengubah peta ekonomi global, penghargaan Nobel Ekonomi 2025 jatuh ke tangan tiga visioner, yakni Philippe Aghion, Joel Mokyr, dan Peter Howitt. Mereka bukan sekadar menerima penghargaan akademis, tetapi memberikan peringatan keras bahwa ekonomi global bisa mandek tanpa inovasi dan AI.
“Faktor kunci kekuatan ekonomi adalah kepemimpinan teknologi,” tegas Philippe Aghion dalam wawancara eksklusif setelah pengumuman penghargaan. Pernyataan ini menjadi fondasi teori yang mengantarkan trio ekonom ini meraih penghargaan bergengsi dengan hadiah 11 juta krona Swedia (US$ 1,2 juta).
Karya seminal Aghion “The Power of Creative Destruction” bersama Howitt dan Mokyr telah merevolusi cara kita memahami dinamika pertumbuhan ekonomi. Teori Schumpeterian Growth mereka menekankan peran inovasi dan penghancuran kreatif dalam mendorong kemajuan ekonomi.
“Ekonomi bukanlah mesin yang statis. Ia adalah sistem dinamis dimana inovasi yang menggusur teknologi lama justru menjadi mesin pertumbuhan yang paling powerful,” jelas Aghion.
AI: Mesin Pertumbuhan Baru yang Kontroversial
Di balik optimisme tersebut, ketiga ekonom menyampaikan peringatan serius. Joel Mokyr dari Northwestern University secara terbuka mengkritik kebijakan pembatasan riset di AS. “Serangan pemerintahan saat ini terhadap pendidikan tinggi dan penelitian ilmiah mungkin merupakan gol bunuh diri terbesar dalam sejarah,” ujarnya, menyindir keras kebijakan era Trump.
Data dari World Economic Forum 2025 mengonfirmasi kekhawatiran mereka dimana 68% nilai pertumbuhan global dalam lima tahun terakhir berasal dari sektor berbasis inovasi dan AI, bukan industri tradisional. Bank Dunia bahkan memperingatkan bahwa negara yang menolak AI akan kehilangan hingga 30% potensi produktivitas dalam dekade mendatang.
Aghion secara khusus menyoroti ketertinggalan Eropa dalam perlombaan AI. “Apa pun yang menghalangi keterbukaan merupakan hambatan bagi pertumbuhan,” katanya, menyentil kebijakan tarif dan pembatasan data lintas negara.
“Dibandingkan dengan AS dan China yang telah berhasil menyelaraskan industri dan riset AI menjadi kebijakan negara, Eropa justru menjadi sangat anti terhadap segala bentuk kebijakan industri atas nama kebijakan persaingan,” tambah Aghion.
Laporan IMF dan OECD memperkirakan bahwa negara yang paling cepat mengadopsi AI berpotensi menambah 1,5-2,5% PDB per tahun mulai 2026. Angka ini menjadi alarm bagi negara-negara yang masih ragu-ragu.
Strategi Bertahan di Ekosistem Global
Peter Howitt dari Brown University mengambil posisi yang lebih politis. “Kita memang jago mendesain sepatu lari, tetapi lebih baik kita membiarkan orang lain membuatnya,” ujarnya sinis, mengkritik obsesi politisi untuk “mengembalikan manufaktur” tanpa memahami struktur ekonomi digital.
Aghion menawarkan solusi praktis: “Kuncinya adalah membangun kapasitas absorptif—kemampuan untuk mengadopsi dan mengadaptasi teknologi yang sudah ada sambil secara bertahap membangun kemampuan inovasi sendiri.”
Ketiga ekonom sepakat bahwa mencapai kepemimpinan teknologi membutuhkan ekosistem yang mendukung: kebijakan pendidikan yang kuat, perlindungan hak properti intelektual yang seimbang, dan iklim kompetisi yang sehat.
“Negara-negara yang berhasil memimpin secara teknologi adalah mereka yang memahami bahwa inovasi tumbuh subur dalam lingkungan dimana para entrepreneur merasa aman untuk mengambil risiko, tetapi juga menghadapi tekanan kompetitif yang sehat,” papar Aghion.
Dalam era dimana artificial intelligence, bioteknologi, dan energi terbarukan mengubah lanskap ekonomi global, pemikiran ketiga pemenang Nobel ini memberikan peta jalan bagi negara-negara yang ingin tetap kompetitif. Pesan mereka jelas: adaptasi atau tertinggal.
Digionary:
● Creative Destruction: Konsep dimana inovasi baru menggantikan teknologi dan model bisnis lama
●Schumpeterian Growth: Teori pertumbuhan ekonomi yang menekankan peran inovasi dan entrepreneur
●Kapasitas Absorptif: Kemampuan organisasi atau negara untuk mengidentifikasi, mengasimilasi, dan menerapkan pengetahuan eksternal
●Deglobalisasi: Tren pembatasan perdagangan dan aliran ide antarnegara
●Proteksionisme: Kebijakan membatasi perdagangan untuk melindungi industri domestik
#NobelEkonomi2025#PhilippeAghion #AIEconomy #EkonomiGlobal #InovasiTeknologi #KecerdasanBuatan #CreativeDestruction #SchumpeterianGrowth #EkonomiDigital #KebijakanInovasi #Proteksionisme #Deglobalisasi #FutureEconomy #DigitalTransformation #EconomicGrowth #InnovationEcosystem #GlobalCompetitiveness #TrumpTradePolicy #EuropaVsAS #TeknologiMasaDepan
