Konsumen Singapura paling optimis secara global terhadap manfaat AI bagi masyarakat (68%), namun hanya 40% yang percaya perusahaan akan menggunakan AI secara bertanggung jawab. Kesenjangan kepercayaan ini dipicu kekhawatiran akan penyalahgunaan data pribadi (58%) dan hilangnya interaksi manusia (55%), dengan 54% konsumen masih lebih memilih layanan manusia daripada saluran digital.
Fokus Utama:
1. Tingkat optimisme AI tertinggi secara global di Singapura (68%) diiringi kesenjangan kepercayaan besar terhadap perusahaan (hanya 40% percaya AI digunakan secara bertanggung jawab).
2. Preferensi kuat untuk layanan manusia (54%) dibanding digital (46%), dengan chatbot AI hanya dipilih 10% responden.
3. Kekhawatiran utama konsumen: penyalahgunaan data pribadi (58%), hilangnya koneksi manusia (55%), dan kualitas interaksi AI yang buruk (46%).
Singapura paling optimis soal AI, tapi hanya 40% yang percaya perusahaan gunakan AI secara bertanggung jawab. Temukan mengapa konsumen masih pilih layanan manusia dan apa artinya bagi bisnis.
Di tengah gelombang adopsi kecerdasan artifisial (AI) yang melanda dunia bisnis global, Singapura justru mempresentasikan sebuah paradoks yang menarik. Menurut laporan terbaru Qualtrics XM Institute, konsumen di negara kota ini tercatat sebagai yang paling optimis di dunia terhadap manfaat AI bagi masyarakat—namun sekaligus paling skeptis terhadap niat baik perusahaan dalam mengimplementasikannya.
Sebanyak 68% responden di Singapura percaya bahwa AI akan membawa manfaat bagi masyarakat, angka tertinggi secara global. Namun, di balik optimisme ini tersembunyi krisis kepercayaan yang dalam: hanya 40% yang mempercayai organisasi untuk menggunakan AI secara bertanggung jawab.
“Temuan ini mengungkap kesenjangan kepercayaan yang signifikan antara harapan konsumen terhadap teknologi AI dan keyakinan mereka terhadap integritas perusahaan yang menggunakannya,” jelas laporan yang dirilis awal Oktober ini.
Kekhawatiran konsumen Singapura terhadap implementasi AI oleh perusahaan ternyata sangat spesifik. Sebanyak 58% responden menyoroti potensi penyalahgunaan data pribadi sebagai ancaman utama, diikuti kekhawatiran akan hilangnya koneksi manusia (55%) dan kualitas interaksi AI yang buruk (46%).
Preferensi untuk layanan berbasis manusia masih sangat kuat. Sebanyak 54% konsumen Singapura lebih memilih saluran yang dipimpin manusia dibandingkan dengan 46% untuk saluran digital. Layanan tatap muka langsung (19%) dan live chat dengan manusia (18%) sama-sama menempati peringkat lebih tinggi daripada chatbot bertenaga AI, yang hanya menjadi pilihan 10% responden.
“Data ini mengirimkan pesan jelas kepada pelaku bisnis: jangan terburu-buru mengganti seluruh interaksi manusia dengan AI. Konsumen masih sangat menghargai sentuhan personal dalam layanan,” tandas seorang analis customer experience yang mempelajari laporan ini.
Temuan lain yang patut diperhatikan bisnis adalah menyempitnya umpan balik langsung dari konsumen. Setelah pengalaman sangat buruk, hanya 39% konsumen Singapura yang bersedia membagikan umpan balik langsung kepada perusahaan. Angka ini bahkan lebih rendah untuk pengalaman excellent—hanya 36% yang mau memberikan masukan.
“Banyak sinyal konsumen tetap tersembunyi kecuali organisasi secara aktif menambang saluran seperti panggilan, transkrip chat, ulasan, dan media sosial,” peringat laporan Qualtrics.
Menjelang 2026, harga tetap menjadi pendorong loyalitas utama (55%), namun kenyamanan (52%) dan kualitas layanan (28%) tidak kalah penting. Data menunjukkan bahwa pelanggan yang memilih merek karena layanan baik melaporkan hasil yang secara signifikan lebih kuat: 91% kepuasan dan 89% kepercayaan, keduanya lebih tinggi daripada faktor loyalitas lainnya.
Meskipun 79% warga Singapura lebih menyukai pengalaman yang dipersonalisasi—jauh lebih tinggi dari rata-rata global 64%—hanya 54% yang percaya manfaatnya lebih besar daripada biaya privasi yang harus ditanggung.
Lebih dari separuh responden menyatakan bersedia berbagi lebih banyak data pribadi jika perusahaan menawarkan transparansi yang lebih besar (63%) dan lebih banyak kontrol atas bagaimana data mereka digunakan atau dihapus (53%).
“Temuan ini menegaskan bahwa transparansi dan kontrol adalah mata uang baru untuk membangun kepercayaan di era digital. Perusahaan yang mampu memberikan kedua hal ini akan memiliki advantage kompetitif yang signifikan,” simpul laporan tersebut.
Bagi bisnis yang beroperasi di Singapura, laporan ini berfungsi sebagai peta jalan yang berharga: meskipun konsumen secara teknologi optimis, mereka tetap manusia yang menginginkan hubungan yang bermakna, transparansi, dan kontrol atas data mereka sendiri. Keberhasilan implementasi AI akan ditentukan oleh kemampuan perusahaan menyeimbangkan efisiensi teknologi dengan sentuhan manusia yang otentik.
Digionary:
● AI (Artificial Intelligence): Kecerdasan buatan yang memungkinkan mesin untuk meniru fungsi kognitif manusia seperti belajar dan memecahkan masalah.
● Chatbot: Program komputer yang dirancang untuk mensimulasikan percakapan dengan pengguna manusia melalui antarmuka teks atau suara.
● Kesenjangan Kepercayaan (Trust Gap): Jarak antara harapan konsumen terhadap suatu teknologi dan keyakinan mereka terhadap integritas perusahaan yang menggunakannya.
● Personalisasi: Penyesuaian pengalaman, konten, atau layanan berdasarkan preferensi, perilaku, atau data individu pengguna.
● Qualtrics XM Institute: Lembaga penelitian yang berfokus pada pengalaman pelanggan, karyawan, produk, dan merek.
#AI #Singapura #KecerdasanBuatan #Qualtrics #CustomerExperience #Teknologi #Konsumen #DataPrivacy #LayananPelanggan #DigitalTransformation #Chatbot #OptimismeAI #KepercayaanKonsumen #Personalisation #BusinessIntelligence #MarketResearch #Innovasi #CustomerTrust #HumanTouch #SingaporeBusiness
