Reli Bitcoin semakin menguat dengan proyeksi sejumlah bank investasi global bahwa harga kripto terbesar ini bisa meroket hingga US$200.000 pada akhir 2025. Lonjakan arus dana ke produk ETF, rotasi modal dari emas, dan momentum siklus pasca-halving menjadi faktor utama pendorong. Citigroup, JPMorgan, Standard Chartered, hingga VanEck mengeluarkan proyeksi berbeda, namun satu benang merah muncul: Bitcoin sedang memasuki fase reli besar yang bisa mengubah peta aset global.
Fokus Utama:
- Proyeksi harga Bitcoin akhir 2025 bervariasi: Citigroup US$133.000, JPMorgan US$165.000, VanEck US$180.000, dan Standard Chartered paling optimistis di US$200.000.
- ETF Bitcoin mencatat arus masuk miliaran dolar, mendorong kapitalisasi pasar kripto ini mendekati level historis, dengan potensi rotasi modal dari emas ke Bitcoin.
- Momentum halving 2024 dan pelemahan dolar AS memperkuat ekspektasi reli parabolis Bitcoin, serupa dengan ledakan harga periode 2020–2021.
Bitcoin kembali mencetak sejarah. Harga aset kripto terbesar di dunia ini kini bertengger di sekitar US$122.000, mendekati rekor tertinggi sepanjang masa US$124.500. Dengan reli lebih dari 13% hanya dalam sepekan terakhir, pasar kripto tampak berada di jalur menuju lonjakan yang lebih dramatis pada akhir 2025.
Sejumlah bank investasi global mulai mengeluarkan proyeksi ambisius. Citigroup memperkirakan Bitcoin akan menyentuh US$133.000, JPMorgan menargetkan US$165.000, VanEck optimistis di US$180.000, sementara Standard Chartered bahkan menyebut angka psikologis US$200.000 sebagai puncak reli berikutnya.

Grafik proyeksi harga Bitcoin menunjukkan perbedaan asumsi antarbank besar. Citigroup menilai harga akan bergerak konservatif di kisaran US$133.000, sementara JPMorgan lebih optimistis di US$165.000. VanEck mengangkat target ke US$180.000, dan Standard Chartered menjadi yang paling agresif dengan proyeksi US$200.000. Perbedaan ini mencerminkan variasi pandangan terhadap seberapa kuat aliran dana ETF, dampak siklus halving, hingga rotasi modal dari emas.
Optimisme itu tidak datang tanpa alasan. Salah satu katalis utama adalah derasnya aliran dana ke produk exchange-traded fund (ETF) Bitcoin di Amerika Serikat, yang kini mengelola aset lebih dari US$163,5 miliar. Citi memperkirakan tambahan dana segar hingga US$7,5 miliar akan masuk ke ETF ini sebelum tutup tahun.
JPMorgan menyoroti sisi lain: rotasi modal dari emas ke Bitcoin. Dengan volatilitas yang makin stabil—rasio Bitcoin terhadap emas kini di bawah 2,0—risiko relatif Bitcoin disebut makin sebanding dengan logam mulia. Bila tren ini berlanjut, kapitalisasi pasar Bitcoin, yang saat ini sekitar US$2,3 triliun, berpotensi melonjak 42% untuk mendekati kepemilikan emas pribadi global senilai US$6 triliun. Itu berarti harga Bitcoin bisa mencapai US$165.000.

Radar chart faktor pendorong reli Bitcoin menggarisbawahi empat elemen kunci: arus masuk ETF, momentum halving, rotasi modal dari emas, dan pelemahan dolar AS. ETF muncul sebagai penggerak paling dominan, disusul efek halving 2024 yang membatasi pasokan. Rotasi modal dari emas menambah daya dorong, sementara melemahnya dolar AS menciptakan iklim yang kondusif bagi reli parabolis seperti pada periode 2020–2021.
Standard Chartered tampil paling bullish. Bank asal Inggris ini menilai arus masuk ETF yang konsisten, rata-rata US$500 juta per pekan, bisa membawa kapitalisasi Bitcoin mendekati US$4 triliun. “Kombinasi pelemahan dolar AS dan melimpahnya likuiditas global menciptakan kondisi ideal untuk reli parabolis seperti periode 2020–2021,” tulis analis Standard Chartered.
VanEck, manajer aset besar asal AS, punya pandangan yang sedikit berbeda: proyeksi US$180.000 bertumpu pada siklus pasca-halving. Dengan pasokan Bitcoin yang semakin terbatas pasca-halving April 2024, tekanan permintaan dari ETF diyakini akan semakin kuat. Data historis menunjukkan puncak harga Bitcoin kerap terjadi 365–550 hari setelah halving. Awal Oktober 2025 ini menandai hari ke-533, yang berarti Bitcoin sudah memasuki “zona emas” reli.
Saad Ahmed, Head of APAC Gemini, menegaskan siklus empat tahunan Bitcoin masih akan bertahan. “Siklus ini lebih digerakkan oleh emosi investor ketimbang perhitungan matematis,” ujarnya.
Meski begitu, risiko tetap menghantui. Citi memperingatkan dalam skenario pesimistis, harga Bitcoin bisa terkoreksi ke US$83.000 jika resesi global menggerus minat risiko. Namun bagi investor jangka panjang, tren struktural yang menopang Bitcoin kini lebih kuat dibanding dekade lalu: institusionalisasi lewat ETF, likuiditas global yang meningkat, serta status Bitcoin yang semakin diterima sebagai “emas digital”.
Dengan proyeksi harga yang kian ambisius, 2025 berpotensi menjadi tahun penentu: apakah Bitcoin benar-benar akan menembus langit US$200.000, atau kembali terhempas oleh siklus pasar yang kejam.
Digionary
● Altcoin: Mata uang kripto selain Bitcoin, seperti Ethereum atau Solana.
● Bitcoin ETF: Produk investasi yang memperdagangkan Bitcoin di bursa saham seperti halnya saham atau obligasi.
● Halving: Mekanisme pemotongan imbalan penambangan Bitcoin setiap 4 tahun sekali yang membuat pasokan baru berkurang.
● Kapitalisasi Pasar (Market Cap): Nilai total aset kripto yang beredar dikalikan dengan harga per unit.
● Overbought: Kondisi di mana harga aset dianggap terlalu tinggi dibandingkan nilainya yang wajar.
● Reli Parabolis: Kenaikan harga aset yang sangat cepat, mirip kurva parabola ke atas.
● Rotasi Modal: Perpindahan dana investor dari satu aset ke aset lain, misalnya dari emas ke Bitcoin.
● Volatilitas: Tingkat fluktuasi harga aset dalam periode tertentu.
#Bitcoin #Crypto #Blockchain #ETFBitcoin #InvestasiKripto #DigitalAsset #StandardChartered #Citigroup #JPMorgan #VanEck #Halving #EmasDigital #Kripto2025 #InvestasiMilenial #Fintech #DeFi #EkonomiGlobal #USDollar #AsetKripto #PasarKripto
