Riset terbaru dari MIT Sloan menemukan bahwa AI generatif seperti GPT dan ERNIE tidak sepenuhnya netral secara budaya. Ketika diberi pertanyaan dalam bahasa Inggris, jawaban AI condong pada nilai individualis dan analitis khas Amerika Serikat, sementara dalam bahasa Mandarin, AI menampilkan orientasi kolektivis dan cara berpikir holistik yang lebih dekat dengan budaya Tiongkok. Temuan ini menegaskan bahwa bahasa dan data pelatihan membentuk kecenderungan budaya AI, sehingga pengguna—baik individu maupun perusahaan—perlu lebih kritis dalam memanfaatkan teknologi ini.
Fokus Utama:
1. AI generatif tidak netral budaya – Riset MIT Sloan menunjukkan jawaban AI berubah sesuai bahasa yang digunakan, mencerminkan pola budaya dari data latihannya.
2. Dampak nyata pada bisnis dan kebijakan – Dari iklan asuransi hingga strategi ekspansi pasar, bias budaya AI dapat memengaruhi keputusan penting tanpa disadari.
3. Strategi mitigasi – Perusahaan disarankan menggunakan “cultural prompts” untuk menyesuaikan jawaban AI dengan target demografis serta memahami risiko bias dalam pengambilan keputusan.
Riset MIT Sloan membuktikan AI generatif seperti GPT dan ERNIE tidak netral budaya. Jawaban berubah tergantung bahasa: Inggris cenderung individualis, Mandarin lebih kolektivis. Apa dampaknya bagi bisnis dan kebijakan global?
Apakah kecerdasan buatan benar-benar netral? Riset terbaru dari MIT Sloan School of Management justru menemukan sebaliknya: AI generatif merefleksikan budaya dari bahasa dan data yang digunakan untuk melatihnya.
Studi yang dipimpin oleh Jackson Lu, profesor studi kerja dan organisasi di MIT Sloan, menguji dua model AI paling populer: GPT dari OpenAI dan ERNIE dari Baidu. Hasilnya mengejutkan: pertanyaan yang sama dalam bahasa berbeda menghasilkan jawaban dengan nuansa budaya yang kontras.
“Temuan kami menunjukkan bahwa kecenderungan budaya yang tertanam dalam model AI membentuk dan menyaring jawaban yang diberikan AI,” kata Lu. “Seiring AI menjadi bagian dari pengambilan keputusan sehari-hari, mengenali kecenderungan ini akan menjadi krusial bagi individu maupun organisasi di seluruh dunia.”
AI dan Bias Budaya: Inggris vs Mandarin
Dalam pengujian, ketika pertanyaan diberikan dalam bahasa Inggris, jawaban AI menekankan orientasi sosial independen dan gaya berpikir analitis—nilai yang dominan di Amerika Serikat. Namun, saat pertanyaan diajukan dalam bahasa Mandarin, jawaban AI berubah menekankan orientasi sosial interdependen dan gaya berpikir holistik, mencerminkan nilai kolektivis khas Tiongkok.
Peneliti menggunakan dimensi psikologi budaya: orientasi sosial (individualis vs kolektivis) dan gaya kognitif (analitis vs holistik). Perbedaan terlihat nyata, bahkan saat AI diminta memilih slogan iklan asuransi. Dalam bahasa Inggris, GPT lebih menyukai slogan individualis: “Your future, your peace of mind. Our insurance.” Namun dalam bahasa Mandarin, GPT condong ke slogan kolektivis: “Your family’s future, your promise. Our insurance.”
Menurut Lu Zhang, peneliti MIT Sloan, “Perbedaan halus ini dapat berdampak besar. Dari pemasaran hingga kebijakan publik, bias budaya dalam output AI bisa memengaruhi keputusan tanpa disadari orang.”
Implikasi bagi Bisnis Global
Temuan ini menimbulkan pertanyaan serius bagi perusahaan multinasional. Dengan proyeksi bahwa adopsi AI generatif akan meluas di sektor bisnis, termasuk keuangan, pemasaran, dan kebijakan publik, kesadaran akan bias budaya menjadi penting.
Riset ini menunjukkan bahwa bias bisa diatasi dengan cultural prompts. Misalnya, perusahaan AS yang ingin menjangkau konsumen Tiongkok dapat memerintahkan AI untuk “mengasumsikan peran orang Tiongkok” sebelum menghasilkan konten. Strategi sederhana ini menggeser jawaban AI agar lebih sesuai dengan konteks budaya.
Namun, riset juga memperingatkan risiko lebih luas: jika pengguna tidak sadar akan bias ini, AI berpotensi memperkuat stereotip dan keputusan yang tidak inklusif.
AI Tidak Netral
Kesimpulannya jelas: AI generatif tidak netral secara budaya. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga wadah nilai dan pola pikir yang ikut “diturunkan” ke dalam algoritma. Karena itu, penggunaan AI memerlukan kesadaran kritis, terutama ketika teknologi ini makin terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari, dari kampanye pemasaran hingga pengambilan kebijakan publik.
“Atas dasar itu, pilihan bahasa harus lebih diperhatikan ketika berinteraksi dengan AI,” kata Lu. “Hal ini tidak hanya membantu menghindari kesalahan halus, tetapi juga membuka wawasan budaya yang berharga.”
Digionary:
● AI Generatif: Kecerdasan buatan yang dapat menghasilkan konten baru seperti teks, gambar, atau musik berdasarkan data latihannya.
● Analitis: Cara berpikir yang fokus pada logika, detail, dan pemecahan masalah secara sistematis.
● Bias Budaya: Kecenderungan keputusan atau hasil dipengaruhi nilai-nilai budaya tertentu.
● Cultural Prompt: Instruksi khusus untuk AI agar menyesuaikan jawaban sesuai budaya target.
● Holistik: Cara berpikir yang melihat masalah secara menyeluruh, bukan hanya detail kecil.
● Interdependen: Orientasi sosial yang menekankan kebersamaan, kelompok, dan hubungan antarindividu.
● Individualis: Orientasi sosial yang menekankan kemandirian dan pencapaian personal.
● Orientasi Sosial: Prioritas seseorang atau kelompok dalam menentukan tujuan, apakah individu atau kolektif.
#AIGeneratif #MITResearch #BiasBudaya #AIandCulture #TeknologiGlobal #ArtificialIntelligence #CulturalBias #GPT #ERNIE #AIandBusiness #MITSloan #MachineLearning #AITrends #AIforBusiness #AIInsights #CulturalPsychology #DigitalTransformation #AIandSociety #AIResearch #AI2025
