Klarna, perusahaan fintech asal Swedia dengan model bisnis buy now, pay later (BNPL), resmi melantai di Bursa New York dengan kenaikan saham hampir 15% pada debut perdagangannya. Di balik pencapaian itu, Klarna bertaruh besar pada kecerdasan buatan (AI) untuk menekan biaya, mempercepat pertumbuhan, dan membangun identitas merek global. Namun, persaingan sengit dengan Affirm di AS dan ancaman dari bank tradisional masih membayangi langkah ambisius perusahaan yang kini bernilai hampir US$20 miliar.
Fokus utama:
1. Taruhan pada AI – Klarna menjadikan AI pusat strategi bisnis, memangkas biaya pemasaran 12%, meningkatkan produksi konten 600%, dan mengembangkan asisten belanja pintar.
2. Debut Pasar Modal – Saham Klarna naik hampir 15% di hari pertama IPO, dengan valuasi mencapai US$20 miliar, meski perusahaan masih mencatatkan kerugian.
3. Persaingan Ketat – Klarna unggul di pasar global, namun tertinggal dari Affirm di AS dan menghadapi ancaman serius dari kartu kredit bank besar yang menawarkan reward lebih menarik.
IPO Klarna di Wall Street melonjak 15% dengan valuasi US$20 miliar. Fintech asal Swedia ini menjadikan AI sebagai senjata utama strategi bisnisnya, namun masih menghadapi kerugian dan persaingan sengit dengan Affirm dan bank besar di pasar AS.
Klarna, pionir layanan buy now, pay later (BNPL) asal Swedia, akhirnya mencatatkan sahamnya di Bursa Efek New York (NYSE). Pada debut perdagangannya, saham Klarna langsung melonjak hampir 15%, mengerek valuasi perusahaan pembayaran digital itu mendekati US$20 miliar. Namun, euforia IPO ini bukan sekadar cerita tentang pendanaan, melainkan taruhan besar Klarna pada kecerdasan buatan (AI) untuk membentuk masa depan bisnisnya.
“Ketika pertama kali mencoba AI, itu hanya seperti trik pesta. Sekarang AI menjadi pusat operasi harian Klarna, mulai dari menganalisis ulasan pelanggan hingga merancang kampanye iklan,” ujar Chief Marketing Officer Klarna, David Sandstrom.
AI sebagai Jantung Strategi
Klarna telah memangkas biaya pemasaran hingga 12% berkat otomatisasi berbasis AI, sekaligus meningkatkan produksi aset pemasaran sampai 600%. Perusahaan ini bahkan mengurangi ketergantungan pada agensi iklan, menggantinya dengan tim yang diperkuat peran-peran baru seperti prompt engineers.
Tak hanya itu, Klarna juga menjalin kerja sama dengan Google menggunakan teknologi Nano Banana, Gemini, dan Veo 3, serta tengah mengembangkan asisten belanja berbasis AI yang mampu menemukan dan menyelesaikan transaksi belanja bagi pelanggan.
Ambisi AI ini bukan tanpa alasan. Menurut laporan McKinsey (2025), adopsi AI di sektor keuangan global berpotensi menghemat biaya operasional hingga US$300 miliar per tahun. Klarna ingin menjadi yang terdepan dalam tren ini.
Euforia IPO dan Tekanan Laba
Meski IPO sukses, tantangan finansial masih membayangi. Klarna melaporkan kerugian US$53 juta pada kuartal II-2025, meningkat dari US$18 juta setahun sebelumnya. Namun, pendapatan tumbuh 20% menjadi US$823 juta. Dalam 12 bulan terakhir hingga Juni 2025, perusahaan memproses transaksi senilai US$112 miliar dari 111 juta pelanggan dan 790 ribu mitra merchant.
Persaingan di AS dan Ancaman Bank
Di pasar AS, Klarna masih tertinggal dari Affirm, yang unggul dengan volume transaksi lebih tinggi sekitar US$4 miliar. Kesalahan strategis Klarna adalah terlambat meluncurkan kartu debit dengan fitur BNPL. Sementara Affirm sudah lebih dulu menghadirkan kartu itu sejak dua tahun lalu, mendorong lonjakan belanja di toko fisik hingga 187% pada akhir 2024. Klarna baru meluncurkan versi percobaannya Juni lalu, dengan 685 ribu pengguna terdaftar hingga September.
Meski begitu, secara global Klarna lebih unggul dengan nilai transaksi bruto (GMV) US$25,3 miliar, lebih dari dua kali lipat GMV Affirm sebesar US$10,4 miliar. Kemitraan dengan raksasa seperti Walmart, DoorDash, dan eBay memberi Klarna daya jangkau internasional yang lebih luas.
Namun, analis memperingatkan ancaman lebih besar datang dari bank tradisional. Kartu kredit dari American Express, Chase, dan Citi menawarkan reward lebih kaya dibandingkan insentif BNPL dari fintech seperti Klarna. “Perusahaan seperti Klarna mencoba melawan margin tipis dengan cashback, tapi jelas tidak sebanding dengan program loyalitas bank besar,” ujar Katherine Smith, analis dari EMARKETER.
Sandstrom menegaskan, Klarna berusaha membangun merek yang lebih ramah konsumen, khususnya dengan pendekatan yang dekat dengan perempuan, berbeda dari pesaing yang ia sebut “transaksional dan maskulin.” (SAN)
Digionary:
● AI (Artificial Intelligence) – Teknologi kecerdasan buatan yang memungkinkan sistem komputer melakukan tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia.
● BNPL (Buy Now, Pay Later) – Skema pembayaran cicilan jangka pendek tanpa kartu kredit, memungkinkan konsumen membeli barang sekarang dan membayar kemudian.
● GMV (Gross Merchandise Volume) – Total nilai barang dagangan yang dijual melalui platform dalam periode tertentu.
● IPO (Initial Public Offering) – Penawaran saham perdana perusahaan di bursa efek.
● Merchant – Penjual atau pedagang yang menggunakan platform pembayaran Klarna untuk transaksi.
● Prompt Engineer – Spesialis yang merancang instruksi optimal untuk memaksimalkan output AI generatif.
● Valuasi – Nilai perusahaan berdasarkan harga saham dan kapitalisasi pasar.
#Klarna #Fintech #IPO #WallStreet #BNPL #ArtificialIntelligence #AI #DigitalPayment #FinancialTechnology #TechInnovation #Affirm #DigitalBanking #USStockMarket #Ecommerce #Startups #FintechTrends #GlobalFinance #TechStrategy #Investasi #EkonomiDigital
