
Mayoritas fintech lending di Indonesia, yakni sekitar 67%, masih mengandalkan metode penyaluran pinjaman secara konvensional meskipun berada dalam ekosistem digital. Kondisi ini memicu kekhawatiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena meningkatkan risiko gagal bayar, terutama karena masih banyak platform yang belum mengadopsi credit scoring digital berbasis data perilaku pengguna. Untuk itu, OJK dan pelaku industri mendorong adopsi sistem penilaian risiko yang lebih canggih seperti dynamic analytics innovation, behavioral scoring, dan pemanfaatan machine learning guna menciptakan ekosistem pinjaman online yang lebih aman, akurat, dan inklusif, khususnya bagi segmen unbanked dan underserved.
Fokus utama:
- 67% fintech lending masih menggunakan metode konvensional dalam penyaluran pinjaman, meskipun tren digitalisasi meningkat.
- OJK dan pelaku industri menekankan pentingnya sistem credit scoring berbasis data digital untuk menekan risiko gagal bayar.
- Inovasi seperti dynamic analytics, behavioral scoring, dan machine learning menjadi kunci masa depan pengelolaan risiko di sektor fintech.
Fintech lending sejatinya adalah layanan keuangan berbasis teknologi digital yang menyalurkan pinjaman secara daring (online), baik untuk individu maupun bisnis. Sebuah perusahaan fintech lending harusnya beroperasi dengan pelayanan berbasis teknologi digital termasuk dalam hal menyeleksi calon debiturnya.
Di tengah geliat pertumbuhan industri fintech lending yang menyalurkan dana hingga Rp80,9 triliun per April 2025, sebuah fakta mencengangkan mengemuka: sebanyak 67% perusahaan fintech di Indonesia masih menggunakan metode konvensional dalam menilai dan menyalurkan pinjaman. Artinya, dua dari tiga penyelenggara layanan pinjam-meminjam berbasis teknologi (LPBBTI) belum sepenuhnya memanfaatkan sistem digital yang real-time dan berbasis data perilaku.
Fakta ini terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Penguatan Kualitas Penilaian Pendanaan Penyelenggara LPBBTI yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Bogor, 11 Juni 2025 lalu. Acara ini menjadi forum strategis bagi regulator, pelaku industri fintech, dan Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) untuk mendorong transformasi menyeluruh dalam penilaian risiko kredit.
Presiden Direktur PT Kredit Biro Indonesia Jaya (CBI), Anton K Adiwibowo, menilai bahwa sistem credit scoring konvensional sudah tak lagi relevan di era digital. “Keputusan pemberian pinjaman saat ini harus diambil dalam hitungan detik, bukan hari. Maka, scoring harus bersifat real-time, adaptif, dan mampu membaca perilaku digital nasabah,” tegasnya.
CBI sendiri tengah mengembangkan pendekatan baru bernama Dynamic Analytics Innovation, yaitu integrasi machine learning, predictive scoring, dan data perilaku digital pengguna. Tujuannya jelas: menciptakan sistem penilaian risiko yang lebih presisi dan kontekstual.
Dynamic analytics innovation yang memanfaatkan machine learning, predictive scoring, dan data digital untuk menilai kelayakan kredit secara real-time. Sistem ini diyakini mampu menekan risiko gagal bayar karena bisa memetakan perilaku calon peminjam dengan lebih akurat, termasuk mereka yang selama ini tidak tercakup dalam sistem perbankan (unbanked dan underserved). Selain itu, lembaga pengelola informasi kredit seperti Kredit Biro Indonesia Jaya (CBI) dan Asosiasi Pengelola Informasi Kredit (APiiK) menekankan pentingnya integrasi lintas data—dari e-KYC, telco, hingga e-commerce—untuk menciptakan credit scoring yang inklusif dan adaptif terhadap dinamika digital.
Langkah ini juga memungkinkan penerapan sistem early warning, pengelolaan limit dinamis, hingga model harga berbasis risiko (risk-based pricing), yang semuanya bertujuan menjaga kesinambungan pertumbuhan industri fintech lending. Pada akhirnya, transformasi digital dalam proses kredit bukan sekadar kebutuhan teknologi, tetapi fondasi utama untuk menjaga integritas dan keberlanjutan industri pembiayaan digital di Indonesia.
Anton juga menyoroti pentingnya menjangkau kalangan unbanked dan underserved yang selama ini luput dari sistem kredit formal. Menurutnya, penggunaan data alternatif seperti perilaku digital, analisis perangkat (device), dan telco footprint bisa membuka akses yang lebih inklusif, terutama bagi pelaku UMKM dan peminjam mikro.
Asosiasi Pengelola Informasi Kredit (APIIK) menambahkan bahwa kolaborasi antara fintech, LPIP, dan ekosistem digital adalah keharusan. “Tanpa interoperabilitas data—dari e-KYC, e-commerce, operator telekomunikasi, hingga platform digital lainnya—credit scoring yang akurat hanyalah mimpi,” ujar perwakilan APIiK.
Mereka juga menyoroti perlunya forum teknologi bersama antara LPBBTI dan LPIP untuk menyelaraskan standar keamanan, roadmap digitalisasi, hingga sistem peringatan dini (early warning system) bagi peminjam berisiko tinggi.
Di tengah tekanan untuk memenuhi syarat modal minimum Rp12,5 miliar dan meningkatnya angka non-performing loan (NPL), fintech lending yang belum mendigitalisasi proses kreditnya terancam tersingkir dari kompetisi. Industri tak hanya dituntut menyalurkan pinjaman cepat, tetapi juga harus cerdas dalam memitigasi risiko dan menjaga keberlanjutan bisnis.
Dengan mayoritas pemain fintech masih terjebak metode lama, tantangan digitalisasi kini menjadi panggilan mendesak. Pertanyaannya: siapa yang akan berani bertransformasi, dan siapa yang akan tumbang di tengah gelombang perubahan? ■
Digionary:
● Fintech Lending: Layanan keuangan berbasis teknologi digital yang menyalurkan pinjaman secara daring (online), baik untuk individu maupun bisnis.
● LPBBTI: Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, yakni platform peer-to-peer (P2P) lending resmi yang diawasi OJK.
● OJK: Otoritas Jasa Keuangan, lembaga negara yang mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan termasuk industri fintech.
● Credit Scoring: Sistem penilaian kelayakan kredit calon peminjam berdasarkan data dan algoritma, digunakan untuk memitigasi risiko gagal bayar.
● Dynamic Analytics Innovation: Pendekatan inovatif dalam credit scoring yang memanfaatkan data digital, machine learning, dan analitik perilaku untuk penilaian risiko yang lebih akurat dan real-time.
● Machine Learning: Teknologi kecerdasan buatan (AI) yang memungkinkan sistem belajar dari data untuk meningkatkan akurasi prediksi atau keputusan.
● Predictive Scoring: Teknik dalam credit scoring untuk memprediksi kemungkinan gagal bayar di masa depan menggunakan data historis dan perilaku.
● Behavioral Scoring: Penilaian risiko kredit berdasarkan perilaku digital pengguna seperti penggunaan perangkat, lokasi, pola komunikasi, dan lainnya.
● Device Analysis: Analisis terhadap perangkat digital (ponsel, laptop, dsb.) yang digunakan peminjam untuk mengidentifikasi pola atau potensi risiko.
●Telco Footprint: Jejak digital peminjam dari aktivitas komunikasi dan data yang diperoleh dari operator seluler.
● Early Warning System: Sistem pemantauan otomatis yang memberi sinyal dini terhadap risiko gagal bayar atau perubahan perilaku nasabah.
● Risk-Based Pricing: Penetapan suku bunga pinjaman berdasarkan tingkat risiko kredit masing-masing peminjam.
● LPIP: Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan, institusi yang mengelola data kredit dan informasi keuangan debitur.
● e-KYC: Electronic Know Your Customer, proses verifikasi identitas nasabah secara digital.
● Unbanked & Underserved: Kelompok masyarakat yang belum terlayani atau kurang terlayani oleh layanan perbankan konvensional.