
Generasi Zillennial—kelompok usia antara Gen Z dan milenial—semakin mengukuhkan diri sebagai pendorong utama transformasi layanan keuangan digital. Laporan terbaru PYMNTS mengungkap bahwa 66% dari mereka kini lebih memilih menggunakan ponsel sebagai “kantor cabang bank”, mencerminkan kombinasi unik antara kecakapan digital dan kepercayaan pada institusi keuangan tradisional.
Fokus utama:
- Dominasi mobile banking di kalangan Zillennial dan implikasinya bagi model bisnis bank.
- Paradoks Zillennial: Melek teknologi namun tetap percaya pada bank konvensional.
- Tuntutan Zillennial terhadap fitur digital yang lebih canggih dan personal.
Dalam lanskap layanan keuangan yang terus berubah, generasi Zillennial tampil sebagai pemain utama. Gabungan antara Gen Z dan milenial akhir ini tak hanya melek teknologi, tetapi juga selektif dalam memilih institusi keuangan. Menurut laporan bertajuk “Generation Zillennial: Driving Financial Service Innovation” dari PYMNTS, sebanyak 66% Zillennial kini menggunakan ponsel sebagai kanal utama untuk berinteraksi dengan bank mereka.
Angka ini menunjukkan bahwa mereka 47% lebih cenderung menggunakan mobile banking dibanding konsumen rata-rata. Bahkan, 22% dari mereka mengaku tidak pernah menginjakkan kaki di kantor cabang atau ATM selama satu tahun terakhir. Ini bukan sekadar perubahan gaya hidup, tetapi sinyal kuat bahwa masa depan perbankan akan ditentukan oleh pengalaman digital yang mulus dan personal.
Namun menariknya, meskipun terbiasa dengan layanan seperti buy now, pay later (BNPL) dan aset kripto, Zillennial tetap menunjukkan loyalitas tinggi terhadap bank-bank besar nasional. Mereka tercatat 23% lebih mungkin memilih bank nasional sebagai lembaga keuangan utama dibanding konsumen lainnya. Hanya 16% yang mempercayakan sepenuhnya layanan keuangan mereka pada bank digital murni—angka yang setara dengan Gen Z dan milenial. Fenomena ini menunjukkan bahwa adopsi digital tidak berarti melepas kepercayaan terhadap institusi mapan.
Laporan yang didasarkan pada survei terhadap 3.724 responden pada Juli 2024 ini juga mengungkap kompleksitas finansial generasi ini. Banyak dari mereka memiliki berbagai sumber pendapatan—dari gaji tetap, pekerjaan lepas, hingga ekonomi gig—yang diimbangi dengan beban utang seperti pinjaman pelajar dan tagihan kartu kredit. Zillennial juga tercatat memiliki rata-rata sembilan akun keuangan—terbanyak dibanding generasi lain—meliputi tabungan, kartu debit dan kredit, dompet digital, akun BNPL, serta aset kripto.
Dalam memilih institusi keuangan, mereka menempatkan pengalaman digital, kualitas teknologi, dan pelayanan nasabah sebagai prioritas. Faktor seperti kedekatan lokasi kantor cabang justru dianggap kurang relevan.
Tuntutan mereka terhadap fitur perbankan juga meningkat. Zillennial menginginkan layanan digital yang tak sekadar cepat, tapi juga responsif. Permintaan terhadap dukungan langsung (live support), penyelesaian sengketa (chargeback), hingga alat bantu pengelolaan keuangan seperti budgeting tools menjadi semakin mendesak. Mereka juga menyukai proses onboarding digital yang cepat dan efisien.
Selain itu, Zillennial menunjukkan minat tinggi terhadap teknologi masa depan seperti kecerdasan buatan generatif (GenAI) dan asisten suara. Mereka aktif berbelanja di luar pengaruh media sosial namun tetap memiliki kesadaran sosial yang tinggi, meskipun dibayang-bayangi oleh tingginya konsumsi dan utang.
Dalam konteks Indonesia, potensi Zillennial sebagai target utama transformasi digital perbankan juga signifikan. Data dari BPS menunjukkan bahwa lebih dari 33 juta penduduk Indonesia kini berusia antara 25–34 tahun—kategori usia yang paling banyak menggunakan layanan perbankan digital. Bank-bank lokal seperti BCA Digital, Bank Jago, hingga Bank Neo Commerce sudah mulai menyesuaikan pendekatan mereka terhadap generasi ini, baik melalui peningkatan fitur aplikasi, user interface yang intuitif, hingga integrasi dengan ekosistem gaya hidup digital.
Namun tantangan tetap ada. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperingatkan bahwa penetrasi layanan digital tidak boleh mengorbankan perlindungan konsumen. Regulasi yang adaptif dan pengawasan terhadap keamanan data menjadi kunci agar transformasi ini berlangsung berkelanjutan.
Zillennial bukan hanya pengguna, mereka adalah agen perubahan. Mereka menuntut layanan yang cepat, transparan, dan personal. Bank yang gagal memahami kebutuhan ini berisiko kehilangan relevansi. ■