
Lonjakan penggunaan layanan pinjaman daring (pindar) di kalangan anak muda semakin mengkhawatirkan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa 3,22 juta anak muda kini kesulitan membayar utang dengan total tunggakan mencapai Rp5,57 triliun. Fenomena ini mencerminkan tren konsumtif generasi muda yang kerap tergoda pinjaman cepat tanpa mempertimbangkan risiko keuangan jangka panjang.
Fokus utama:
- Pinjaman daring di segmen anak muda terus tumbuh pesat, mencapai Rp37,51 triliun pada 2024, meningkat 27,73% dibanding tahun sebelumnya.
- Dari total peminjam, sebanyak 3,22 juta anak muda mengalami kesulitan bayar, dengan tingkat wanprestasi (non-performing loan) yang semakin mengkhawatirkan.
- Jika tren ini terus berlanjut, stabilitas keuangan generasi muda bisa terancam. Regulasi yang lebih ketat dan literasi keuangan yang lebih baik menjadi kebutuhan mendesak.
Fenomena utang di kalangan anak muda semakin mengkhawatirkan. Data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap bahwa 3,22 juta anak muda di Indonesia kini kesulitan membayar utang dari layanan fintech peer-to-peer (P2P) lending, dengan total tunggakan mencapai Rp5,57 triliun.
Laporan OJK menunjukkan bahwa hingga 2024, ada 13,49 juta anak muda yang memanfaatkan layanan pinjaman daring. Kelompok ini terdiri dari dua kategori usia, yaitu di bawah 19 tahun dan 19-34 tahun. Mereka menyumbang 60,43% dari total peminjam individu di sektor fintech P2P lending, yang mencapai 22,33 juta akun.
Dalam hal total pinjaman, generasi muda menyumbang Rp37,51 triliun, naik signifikan 27,73% dibanding tahun sebelumnya. Bahkan, mereka menyumbang lebih dari separuh (51,76%) dari total pinjaman perorangan di sektor ini.
Kendati sebagian besar peminjam masih patuh membayar cicilan tepat waktu—terbukti dari 10,27 juta akun dengan status pinjaman “lancar” senilai Rp31,93 triliun—tren kredit bermasalah di kalangan anak muda tetap patut diwaspadai.
Dari 3,22 juta peminjam bermasalah, mereka terbagi dalam beberapa kategori:
- Dalam Perhatian Khusus: Sebanyak 1,32 juta akun mengalami keterlambatan pembayaran hingga 30 hari dengan total pinjaman Rp2,25 triliun.
- Kurang Lancar (Terlambat 30-60 Hari): Sekitar 860 ribu akun menunggak dengan total utang Rp1,45 triliun.
- Pinjaman macet (Lebih dari 90 Hari): Kelompok ini paling berisiko, dengan utang yang berpotensi tidak terbayarkan.
Meningkatnya ketergantungan anak muda pada pinjaman daring tak lepas dari gaya hidup konsumtif yang kerap didorong oleh budaya buy now, pay later (BNPL) dan promosi agresif platform keuangan digital. Kemudahan akses kredit ini membuat banyak anak muda terjebak dalam siklus utang tanpa perencanaan keuangan yang matang.
Penelitian dari Bank Dunia menyebutkan bahwa hanya 38% masyarakat Indonesia yang memiliki literasi keuangan memadai. Sementara itu, survei OJK pada 2023 menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan generasi muda masih berada di angka 37,72%, jauh dari ideal.
“Pinjaman daring bisa menjadi solusi bagi mereka yang benar-benar membutuhkan, tetapi tanpa pemahaman yang baik tentang pengelolaan keuangan, justru bisa menjadi bumerang,” ujar seorang analis keuangan dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Maraknya kredit bermasalah di kalangan anak muda menjadi alarm bagi regulator dan industri keuangan. OJK telah berupaya memperketat regulasi fintech, termasuk mewajibkan transparansi suku bunga dan mekanisme penagihan yang lebih beretika.
Di sisi lain, pemerintah bersama OJK dan AFPI terus menggalakkan program literasi keuangan agar generasi muda lebih bijak dalam mengelola keuangan mereka.
“Kami mendorong kolaborasi antara regulator, platform fintech, dan institusi pendidikan untuk meningkatkan edukasi keuangan digital,” kata juru bicara OJK.
Dengan tren yang ada, diperlukan tindakan nyata untuk menekan angka kredit bermasalah sebelum krisis keuangan generasi muda semakin parah. ■