
Perbankan Indonesia menghadapi tantangan besar pada 2025 akibat melambatnya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK), terutama dari segmen nasabah perorangan. Ketua Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Kartika Wirjoatmodjo, mengungkapkan bahwa loan to deposit ratio (LDR) perbankan mencapai 89,05% pada Desember 2024, menunjukkan tekanan likuiditas yang semakin ketat. Sementara itu, simpanan korporasi tumbuh pesat, tetapi DPK perorangan justru mengalami kontraksi. Jika tren ini terus berlanjut, perbankan bisa menghadapi risiko keterbatasan dana untuk ekspansi kredit, yang menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Fokus utama:
- DPK hanya tumbuh 5,3% YoY pada Januari 2025, sementara DPK perorangan menyusut 2,6%, mencerminkan meningkatnya konsumsi masyarakat yang menggerus tabungan.
- Kesulitan bank dalam menarik dana murah membuat biaya pendanaan naik, tetapi perbankan masih mencatat profitabilitas yang relatif stabil dengan NIM 4,72% dan ROA-ROE dalam kondisi sehat.
- Simpanan korporasi tumbuh 14,2% YoY, menunjukkan perubahan perilaku keuangan di tengah dinamika ekonomi dan ketidakpastian global.
Tren perlambatan simpanan perorangan semakin nyata. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), total DPK perbankan tumbuh 5,3% secara tahunan (YoY) pada Januari 2025 menjadi Rp8.599,4 triliun. Namun, jika diperinci lebih jauh, DPK perorangan justru mengalami kontraksi sebesar 2,6% YoY, melanjutkan tren penurunan dari Desember 2024 yang minus 2,1%.
Sebaliknya, DPK korporasi justru tumbuh pesat sebesar 14,2% YoY. Ini menunjukkan bahwa simpanan perbankan semakin terkonsentrasi di segmen bisnis, sementara daya simpan masyarakat justru melemah.
“Ini yang menjadi isu utama di perbankan: bagaimana memastikan pertumbuhan DPK yang memadai untuk mendukung ekspansi kredit pada 2025,” ujar Ketua Umum Perbanas, Kartika Wirjoatmodjo, dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI di Senayan, Jakarta, Kamis (13/3).
Beberapa faktor utama yang menyebabkan DPK perorangan melemah antara lain:
- Tekanan ekonomi dan konsumsi tinggi. Inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok membuat masyarakat lebih banyak mengalokasikan dana untuk konsumsi ketimbang menabung. Fenomena “makan tabungan” semakin nyata—warga menarik simpanan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
- Suku bunga dan biaya dana tinggi. Cost of fund (biaya dana) meningkat, membuat bank kesulitan menawarkan bunga simpanan yang menarik. Bank lebih fokus menarik DPK korporasi, yang lebih stabil dibanding simpanan perorangan.
- Dinamika investasi. Banyak nasabah mengalihkan dana dari tabungan ke instrumen investasi, seperti saham dan obligasi, demi imbal hasil lebih tinggi. Pertumbuhan investasi ritel di pasar modal meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir.
Perlambatan DPK perorangan memicu beberapa dampak serius bagi sektor perbankan dan perekonomian nasional:
- Risiko ketatnya likuiditas. Dengan LDR mencapai 89,05%, bank semakin agresif menyalurkan kredit. Jika simpanan terus melemah, risiko mismatch likuiditas bisa meningkat.
- Daya tahan perbankan diuji. Meskipun net interest margin (NIM) nasional masih di level 4,72% dan return on asset (ROA) sehat, tren penurunan simpanan berpotensi menekan profitabilitas bank.
- Target pertumbuhan kredit 10%-12% bisa terancam. BI dan OJK memproyeksikan pertumbuhan kredit tahun ini di kisaran 10%-12%, tetapi jika likuiditas mengetat, ekspansi kredit bisa terganggu.
Bank-bank harus segera merumuskan strategi untuk menghadapi tekanan ini. Beberapa langkah yang bisa diambil:
- Meningkatkan DPK perorangan dengan inovasi produk. Bank perlu memperkenalkan produk tabungan berbunga lebih kompetitif untuk menarik kembali dana masyarakat. Loyalitas nasabah bisa diperkuat dengan program cashback atau insentif menabung.
- Digitalisasi layanan dan optimalisasi teknologi. Penerapan AI dan big data untuk memahami pola konsumsi nasabah dan menawarkan produk tabungan yang lebih personal. Super apps perbankan dengan fitur investasi dan tabungan terintegrasi bisa meningkatkan engagement nasabah.
- Mendorong ekspansi kredit yang sehat. Bank harus lebih selektif dalam ekspansi kredit, memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan tidak memicu risiko gagal bayar. Diversifikasi sumber dana, termasuk dari penerbitan obligasi dan instrumen pasar uang, bisa membantu menyeimbangkan likuiditas.
Perbankan Indonesia menghadapi tantangan besar pada 2025 dengan perlambatan pertumbuhan DPK perorangan yang bisa berdampak pada ekspansi kredit dan stabilitas sistem keuangan. Jika tidak ada langkah konkret, ketimpangan antara DPK perorangan yang melemah dan DPK korporasi yang terus tumbuh bisa menciptakan risiko jangka panjang. Bank perlu segera beradaptasi dengan menawarkan inovasi produk simpanan, memperkuat digitalisasi, dan memastikan ekspansi kredit tetap terkendali agar tetap kompetitif di tengah dinamika ekonomi yang semakin kompleks. ■