
Langkah Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif balasan berdampak beragam terhadap ekonomi Asia, menurut Kepala Ekonom ADB Albert Park. Negara-negara di luar China berpeluang mengisi celah ekspor yang ditinggalkan China, namun juga menghadapi ketidakpastian tinggi yang menghambat investasi dan manufaktur. Di tengah gejolak global, Park menyarankan negara-negara Asia menggenjot konsumsi domestik lewat kebijakan fiskal, terutama untuk melindungi kelompok rentan.
Fokus utama:
- Kebijakan tarif balasan Presiden Trump berisiko menekan ekspor China namun membuka peluang bagi negara Asia lain untuk mengambil alih pangsa pasar.
- Dunia usaha di Asia menahan investasi karena ketidakpastian terkait arah perdagangan dan harga ekspor.
- Albert Park merekomendasikan peningkatan belanja fiskal untuk mendukung daya beli dan melindungi pekerja rentan.
Gelombang tarif dagang balasan yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump pada awal April 2025 dinilai membawa dampak yang tidak seragam terhadap negara-negara Asia. Kepala Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB), Albert Park, menyebut kebijakan ini bisa menjadi “berkah terselubung” bagi negara-negara di luar China, namun juga menambah ketidakpastian yang mengganggu stabilitas ekonomi kawasan.
“Dampaknya campur aduk bagi Asia—di luar China,” ujar Park dalam pertemuan tahunan ADB ke-58 di New Delhi. Ia menilai, meski China diproyeksikan terpukul oleh tarif tinggi, negara tetangga seperti Vietnam bisa mengambil keuntungan dengan menggantikan sebagian ekspor China ke AS. Hal serupa pernah terjadi selama masa jabatan pertama Trump.
Namun, Park mengingatkan bahwa efek dominonya tak bisa diabaikan. “Perusahaan-perusahaan yang memasok komponen ke China juga akan terdampak jika ekspor China menurun,” katanya.
Trump sebelumnya mengancam tarif setinggi 65% untuk produk China dan 10% untuk negara lain. Realisasinya, tarif yang diberlakukan pada April 2025 bahkan lebih tinggi dari proyeksi awal yang disusun ADB pada laporan Asian Development Outlook edisi Desember 2024. Ini membuat perkiraan ADB tentang dampak tarif terhadap ekonomi kawasan perlu direvisi.
Di tengah ketidakpastian global, Park menyampaikan bahwa negara-negara Asia perlu mulai menoleh ke dalam negeri. Menurutnya, peluang pertumbuhan bisa didorong lewat penguatan permintaan domestik, bukan hanya mengandalkan ekspor. “Kalau tidak bisa bertumpu pada permintaan luar negeri, maka permintaan domestik adalah alternatif berikutnya,” katanya.
ADB dalam laporan terbarunya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik sebesar 4,9% pada 2025 dan 4,7% di 2026. Sementara itu, India diprediksi tumbuh 6,7% di tahun fiskal 2025–2026 dan 6,8% pada tahun berikutnya.
Park menegaskan, pertumbuhan ini sebagian besar disokong oleh konsumsi dalam negeri yang kuat. Namun, untuk menjaga momentum, pemerintah perlu mempertimbangkan penggunaan kebijakan fiskal, bukan hanya kebijakan moneter.
“Bank sentral sekarang harus sangat berhati-hati mengingat volatilitas keuangan saat ini. Tidak bisa asal turunkan suku bunga,” ujarnya. Sebaliknya, ia menyarankan belanja publik yang diarahkan pada kelompok rentan untuk menjaga daya beli masyarakat. “Ini bukan hanya melindungi kelompok rentan, tapi juga menjaga permintaan dalam ekonomi,” tegasnya.
Menurut laporan ADB, ketidakpastian tinggi yang ditimbulkan oleh kebijakan perdagangan AS membuat banyak pelaku usaha di Asia enggan berinvestasi. “Sekarang ini, perusahaan-perusahaan kesulitan membuat rencana investasi. Kita sudah lihat penurunan aktivitas manufaktur di beberapa negara Asia karena keraguan mereka terhadap prospek ekspor dan harga jual,” ujar Park.
Laporan World Bank yang dirilis April 2025 juga menunjukkan tren perlambatan investasi asing langsung (FDI) di Asia Tenggara akibat ketidakpastian geopolitik dan gangguan rantai pasok global. Data IMF memperkuatnya: pertumbuhan volume perdagangan global diperkirakan hanya 3,2% pada 2025, turun dari 4,5% pada tahun sebelumnya.
Di tengah situasi ini, penguatan fundamental dalam negeri menjadi agenda krusial bagi negara-negara Asia. Park menyarankan agar pemerintah tidak ragu menggunakan stimulus fiskal lebih agresif, tergantung pada kondisi fiskal masing-masing negara.
“Jika masalahnya cukup serius, maka responsnya juga harus serius,” tutup Park. ■