BI pangkas kepemilikan SRBI, prioritaskan kredit perbankan ke sektor produktif

- 8 Mei 2025 - 09:35

Bank Indonesia (BI) mulai memangkas kepemilikan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) secara bertahap demi mendorong likuiditas di sektor perbankan dan memperkuat transmisi kebijakan moneter. Langkah ini sejalan dengan strategi stabilisasi nilai tukar dan peningkatan efektivitas pasar keuangan domestik.


  1. Strategi BI mengurangi outstanding SRBI untuk mendorong ekspansi kredit perbankan.
  2. Upaya BI menjaga stabilitas pasar uang dan valas dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN).
  3. Efektivitas SRBI dalam menarik investor asing dan memperdalam pasar keuangan domestik.

Bank Indonesia (BI) mulai melonggarkan posisi investasinya di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dalam upaya sistematis untuk memompa likuiditas ke sektor perbankan. Langkah ini dilakukan secara terukur guna mendorong penyaluran kredit yang lebih agresif oleh perbankan, sekaligus menjaga stabilitas pasar keuangan nasional di tengah dinamika global yang masih menantang.

“BI mendorong ekspansi likuiditas secara konsisten dan terukur. Kita terus berupaya menurunkan outstanding-nya,” kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, dalam paparan media di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (7/5).

Data per akhir 2024 mencatat outstanding SRBI mencapai Rp923 triliun. Namun, hingga awal Mei 2025, nilainya telah dipangkas menjadi Rp882 triliun. Artinya, sekitar Rp40 triliun dana SRBI telah dilepas ke pasar, membuka ruang tambahan bagi bank untuk mengakses likuiditas dan meningkatkan kapasitas pembiayaan.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi pro market Bank Indonesia untuk memperkuat transmisi kebijakan moneter, memperdalam pasar uang, serta menarik aliran modal asing yang dapat memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah.

SRBI sendiri menjadi salah satu instrumen utama yang digunakan BI dalam menarik investor asing. Hingga saat ini, kepemilikan nonresiden atas SRBI tercatat sebesar 24%, mencerminkan daya tarik instrumen ini di mata pasar global. Selain menjadi alternatif investasi, SRBI turut memperkuat likuiditas di pasar sekunder dan meningkatkan volume transaksi repo.

Selain memangkas SRBI, BI juga menggelontorkan dana besar melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN). Hingga 6 Mei 2025, BI telah memborong SBN senilai total Rp81 triliun. Rinciannya, Rp23 triliun dibeli di pasar primer dan Rp58 triliun di pasar sekunder.

Pembelian SBN oleh BI bertujuan menjaga stabilitas keuangan, mendukung pembiayaan fiskal pemerintah, serta sebagai instrumen injeksi likuiditas jangka pendek maupun menengah. Dalam konteks ini, BI mengambil peran lebih aktif untuk menyeimbangkan dinamika permintaan dan penawaran uang di pasar.

“Di posisi terakhir outstanding-nya sudah berada di angka sekitar Rp882 triliun, berarti kita sudah melepas likuiditas dari operasi SRBI itu sebesar Rp40 triliun,” ujar Erwin.

Erwin juga menegaskan bahwa pasar uang tetap terjaga dalam kondisi yang stabil, dengan volume transaksi yang meningkat. Ini mencerminkan bahwa mekanisme pasar berfungsi dengan baik, baik di sisi kebutuhan korporasi maupun interbank.

“Pasar uang dan valas menunjukkan performa yang sehat. Kebutuhan likuiditas valas, maupun transaksi penjualan valas, dapat terfasilitasi dengan baik,” kata Erwin.

Menurut data Bank Indonesia, volume transaksi harian di pasar valas domestik terus meningkat sejak awal tahun, seiring meningkatnya aktivitas korporasi dan kebutuhan lindung nilai. Stabilitas pasar valas menjadi krusial dalam menjaga kepercayaan investor dan memperkuat posisi rupiah terhadap dolar AS.

Kebijakan BI ini hadir di tengah situasi global yang belum sepenuhnya pulih. Ketidakpastian suku bunga acuan Amerika Serikat oleh The Federal Reserve (The Fed), volatilitas harga komoditas, serta ketegangan geopolitik masih memberi tekanan terhadap arus modal ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dengan memperkuat instrumen domestik seperti SRBI dan SBN, BI berharap dapat menciptakan daya tarik yang kompetitif bagi investor asing, sekaligus menjaga stabilitas makroekonomi nasional.

Menurut riset terbaru dari Institute of International Finance (IIF), aliran modal asing ke negara berkembang diproyeksi melambat pada semester I 2025. Oleh sebab itu, kehadiran instrumen SRBI dengan imbal hasil menarik dan risiko yang terkelola menjadi andalan bagi Indonesia untuk tetap kompetitif di pasar keuangan global. ■

Comments are closed.