Pemerintah siapkan strategi khusus untuk 7 kelompok rentan demi capai inklusi keuangan 98%

- 7 Mei 2025 - 10:15

Pemerintah Indonesia, melalui kolaborasi antara DNKI dan Tony Blair Institute, menyiapkan strategi terarah untuk meningkatkan inklusi keuangan nasional dengan menyasar tujuh kelompok rentan, mulai dari perempuan hingga pelaku UMKM. Langkah ini didukung target ambisius inklusi keuangan sebesar 98% pada 2045 dan peningkatan kepemilikan rekening formal di atas 90% pada 2025.


Fokus utama:

  1. Strategi baru pemerintah dalam mendorong inklusi keuangan melalui pendekatan berbasis kelompok masyarakat.
  2. Data terkini tentang perkembangan inklusi keuangan nasional dari OJK, BPS, dan DNKI.
  3. Komitmen jangka panjang dalam RPJMN menuju 2045 untuk membangun sistem keuangan yang inklusif.

Pemerintah Indonesia menggulirkan strategi baru untuk memperluas inklusi keuangan secara menyeluruh, dengan menyasar tujuh kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari sistem keuangan formal. Strategi ini merupakan hasil kerja sama Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) dengan Tony Blair Institute yang dirangkum dalam dokumen Kajian Pemetaan Inklusi Keuangan: Percepatan Akses Layanan Keuangan untuk Kelompok Sasaran.

Dokumen ini, menurut Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Ekonomi Digital Kemenko Perekonomian, Ali Murtopo Simbolon, akan menjadi panduan implementasi nasional untuk mempercepat kepemilikan rekening keuangan dan memperluas cakupan layanan keuangan formal di Indonesia.

“Dokumen ini berfungsi sebagai perangkat implementasi dasar untuk mendukung percepatan inklusi keuangan dan kepemilikan rekening, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto,” ujar Ali dalam Indonesia International Financial Inclusion Summit (IFIS) 2025 di Jakarta, Selasa (6/5).

Tujuh kelompok yang menjadi sasaran prioritas meliputi: perempuan; penyandang disabilitas dan lansia; pelajar, santri, dan pemuda; masyarakat di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar); pekerja migran Indonesia; pelaku usaha mikro dan kecil; serta masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Ali menekankan bahwa tiap segmen memiliki karakteristik, hambatan, dan aspirasi yang berbeda, sehingga pendekatan inklusi keuangan harus dirancang secara kontekstual. “Kelompok-kelompok ini kerap menghadapi kekurangan akses terhadap infrastruktur digital publik yang memadai dan pengetahuan mengenai produk keuangan yang dapat meningkatkan penghidupan,” katanya.

Langkah strategis ini datang di tengah hasil positif Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang dirilis OJK dan BPS. Survei menunjukkan kenaikan tingkat inklusi keuangan dari 75,02% pada 2024 menjadi 80,51% di 2025. Di sisi lain, metode DNKI yang memperluas cakupan sektor mencatat inklusi keuangan nasional telah menyentuh angka 92,74%.

Metodologi DNKI mencakup entitas non-bank seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, koperasi simpan pinjam, penyelenggara perdagangan aset kripto, PT Pos Indonesia, hingga lembaga penjaminan, memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang jangkauan layanan keuangan nasional.

Pemerintah juga memasukkan target inklusi keuangan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Targetnya, kepemilikan rekening formal mencapai 91% pada 2025, naik menjadi 93% pada 2029, dan akhirnya 98% pada 2045, bertepatan dengan visi Indonesia Emas.

Meski angka-angka menunjukkan kemajuan, tantangan struktural masih mengintai. Data World Bank tahun 2023 menyebutkan bahwa sekitar 32% populasi dewasa Indonesia belum memiliki akses ke layanan perbankan formal. Hambatan utama mencakup kurangnya literasi digital, keterbatasan infrastruktur, serta minimnya produk keuangan yang sesuai kebutuhan masyarakat akar rumput.

Dalam laporan Findex Database yang dirilis Bank Dunia, kelompok perempuan dan masyarakat pedesaan menjadi segmen yang paling tertinggal dari sisi akses keuangan formal. Padahal, menurut McKinsey Global Institute, peningkatan inklusi keuangan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hingga tambahan US$140 miliar pada 2025 di negara berkembang seperti Indonesia.

Itulah sebabnya, pendekatan baru yang lebih partisipatif dan kontekstual menjadi krusial. DNKI menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, dan lembaga masyarakat sipil dalam menjangkau kelompok sasaran secara efektif.

“Kunci keberhasilan terletak pada keberlanjutan kebijakan dan kemauan politik untuk terus berinovasi, terutama dalam hal digitalisasi sistem keuangan yang dapat menjangkau semua kelompok,” demikian DNKI dalam dokumen kajiannya. ■

Comments are closed.