Ditekan AS soal QRIS dan GPN, Indonesia tegaskan kedaulatan sistem pembayaran nasional

- 25 April 2025 - 15:46

Pemerintah Amerika Serikat menyatakan kekhawatirannya atas implementasi sistem pembayaran nasional Indonesia seperti QRIS dan GPN, yang dinilai menyulitkan perusahaan asing seperti Visa dan Mastercard. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa Indonesia tetap terbuka untuk kerja sama dengan operator asing dan menekankan pentingnya perdagangan yang adil dan seimbang demi kepentingan nasional. Isu ini mencerminkan tarik-menarik kepentingan antara kedaulatan digital dan liberalisasi perdagangan global.


Fokus utama:

  1. Respons Indonesia terhadap keluhan Pemerintah AS terkait sistem pembayaran nasional.
  2. Komitmen Indonesia menjaga kedaulatan digital tanpa menutup kerja sama global.
  3. Strategi Indonesia dalam memperkuat posisi tawar dalam negosiasi dagang dengan AS.

Ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Amerika Serikat kembali mencuat, kali ini terkait dengan sektor strategis: sistem pembayaran digital nasional. Pemerintah AS melayangkan keberatan terhadap implementasi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), yang dinilai menghambat masuknya perusahaan asal AS seperti Visa dan Mastercard ke pasar Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menanggapi keluhan itu dengan sikap terbuka namun tegas. Dalam konferensi pers daring pada Jumat (25/4), Airlangga menyatakan bahwa Indonesia tidak pernah menutup diri terhadap operator asing. “Terkait dengan QRIS atau gateway nasional, Indonesia sebetulnya terbuka untuk para operator luar negeri termasuk Master atau Visa,” ujarnya.

Namun, ia menegaskan bahwa setiap penyedia jasa pembayaran harus mematuhi aturan yang ditetapkan pemerintah Indonesia. “Kami menggulirkan aturan main yang setara bagi siapa pun yang ingin beroperasi di Indonesia. Tidak ada diskriminasi,” tegas Airlangga.

Pemerintah AS sebelumnya menganggap bahwa dominasi sistem domestik seperti GPN dan QRIS membatasi ruang gerak perusahaan internasional. Namun, Indonesia berpandangan sebaliknya: kemandirian dalam sistem pembayaran adalah bagian dari strategi memperkuat ketahanan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global dan persaingan geopolitik yang makin tajam.

QRIS, yang diluncurkan secara nasional pada 2019, kini telah digunakan oleh lebih dari 30 juta UMKM di Indonesia dan terkoneksi dengan ratusan institusi keuangan. Data Bank Indonesia menyebutkan bahwa pada kuartal pertama 2025, transaksi QRIS tumbuh 68% secara tahunan, menandakan adopsi yang pesat. Adapun GPN, sejak diterapkan 2017, bertujuan menyatukan sistem pembayaran domestik agar lebih efisien dan murah, dengan target mengurangi ketergantungan pada jaringan internasional.

Keluhan dari AS bukan yang pertama. Sebelumnya, dalam laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2024, Pemerintah AS sudah menyoroti kebijakan-kebijakan Indonesia yang dianggap menghambat akses pasar, terutama di sektor keuangan digital dan e-commerce.

Namun bagi pemerintah Indonesia, langkah ini merupakan bagian dari reformasi struktural untuk memperkuat kemandirian ekonomi dan kedaulatan digital. Airlangga menegaskan bahwa Indonesia menginginkan kerja sama perdagangan yang adil dan berimbang. “Tawaran Indonesia kepada Amerika Serikat untuk mewujudkan kerja sama perdagangan yang adil, mengacu kepada kepentingan nasional dan dirancang untuk menjaga keseimbangan setidaknya pada lima manfaat,” ujarnya.

Kelima manfaat yang dimaksud adalah:

  1. Memenuhi kebutuhan dan menjaga ketahanan energi nasional.
  2. Memperluas akses pasar Indonesia ke AS, khususnya dengan tarif kompetitif untuk produk ekspor.
  3. Mendorong deregulasi untuk mempermudah usaha, perdagangan, dan investasi.
  4. Membangun nilai tambah melalui kerja sama rantai pasok, industri strategis, dan mineral kritis.
  5. Akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, pertanian, serta energi terbarukan.

Isu ini mencerminkan dilema yang dihadapi banyak negara berkembang: bagaimana menarik investasi asing tanpa mengorbankan kepentingan nasional, terutama di sektor strategis seperti keuangan digital. Beberapa negara ASEAN seperti Thailand dan Malaysia juga mulai mengembangkan sistem QR code lokal sebagai alternatif jaringan global, menandai tren kedaulatan digital di kawasan.

Di tengah tensi dengan AS, Indonesia justru memperluas kerja sama QRIS lintas negara. Setelah terhubung dengan Thailand dan Malaysia, Indonesia kini menargetkan kerja sama dengan Tiongkok, Arab Saudi, dan UEA, memperkuat posisi regional sebagai pelopor integrasi pembayaran digital.

Dengan posisi strategis sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan proyeksi pertumbuhan digital payment yang menembus US$ 50 miliar pada 2026 (Statista), Indonesia punya daya tawar yang makin diperhitungkan. Tantangannya kini adalah menjaga keseimbangan antara keterbukaan pasar dan perlindungan nasional, antara globalisasi dan kedaulatan digital. ■

Comments are closed.