
Meta, perusahaan induk Facebook, telah menghabiskan sekitar US$45 miliar dalam upayanya mengejar visi metaverse Mark Zuckerberg. Namun, lebih dari empat tahun berjalan, hasil yang diperoleh jauh dari harapan. Pemborosan dana, kekacauan internal, dan kepemimpinan yang tidak memadai menjadikan proyek ini sebuah “lubang hitam finansial” yang merugikan perusahaan. Kinerja yang menurun ini semakin memunculkan keraguan atas keberlanjutan visi metaverse Zuckerberg.
Fokus utama:
- Kekacauan internal yang memperburuk kerugian – Meta dilanda pergantian pimpinan yang sering dan tim yang tidak berpengalaman dalam bidang augmented reality (AR) dan virtual reality (VR).
- Kerugian yang terus meningkat – Setiap tahun, kerugian Reality Labs, divisi yang menggarap metaverse, semakin besar dan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
- Optimisme investor mulai memudar – Meskipun ada investor yang masih menaruh harapan, kerugian yang terus meluas dan kegagalan untuk meraih adopsi mainstream semakin membuat para pemangku kepentingan ragu.
Sejak pertama kali Mark Zuckerberg mengubah nama Facebook menjadi Meta pada 2021, perusahaan ini telah menginvestasikan hampir seluruh dana untuk mewujudkan visi metaverse-nya. Namun, perjalanan empat tahun tersebut tampaknya semakin menemui jalan buntu.
Pada awal 2025, Meta dilaporkan telah menghabiskan sekitar US$45 miliar untuk proyek metaverse yang ambisius, tetapi hasilnya jauh dari yang diharapkan. Kehilangan dana yang terus meningkat ini memicu pertanyaan serius tentang kelangsungan proyek dan visinya dalam jangka panjang.
Kekacauan internal di Reality Labs, divisi yang ditugaskan untuk mewujudkan metaverse, menjadi salah satu penyebab utama kegagalan tersebut. Beberapa sumber internal yang diwawancarai Yahoo Finance mengungkapkan bahwa divisi ini terjerat dalam ketidakjelasan struktur kepemimpinan dan manajemen yang tidak berkompeten. Sejumlah pimpinan baru yang ditunjuk untuk mengelola tim AR dan VR bahkan tidak memiliki pengalaman di bidang tersebut. Seorang mantan karyawan bahkan menggambarkan keadaan di Reality Labs sebagai “chaotic” dan penuh dengan eksperimen yang tidak terarah.
Lebih buruk lagi, kerugian yang dialami divisi ini semakin membengkak dari tahun ke tahun. Pada 2020, kerugian mencapai lebih dari US$6 miliar, yang kemudian melonjak menjadi US$10 miliar pada 2021. Pada 2022, angkanya melonjak lagi menjadi US$13 miliar, dan pada 2023, kerugian mencapai US$16 miliar. Bahkan pada kuartal pertama 2024, divisi ini mengalami kerugian US$3,8 miliar, menghapus seluruh pendapatan yang diperoleh selama dua tahun sebelumnya.
Meskipun pengeluaran terus meningkat, pendapatan tahunan Reality Labs justru mengalami penurunan yang signifikan sejak 2021. Kegagalan untuk meraih adopsi mainstream dan penjualan yang lemah semakin memperburuk keadaan. Gene Munster, seorang analis keuangan di Deepwater Asset Management, menyebut divisi ini sebagai “bencana finansial” yang merugikan saham Meta.
Namun, meskipun ada rasa pesimisme yang mulai tumbuh di kalangan investor, beberapa masih bertahan dengan harapan jangka panjang bahwa AR dan VR akhirnya akan menjadi bagian dari masa depan teknologi. “Bergantung pada adopsi massal, terus kehilangan US$10-15 miliar setiap tahun untuk mengejar impian metaverse Zuckerberg adalah sesuatu yang tidak berkelanjutan,” tegas Munster.
Sebagai perusahaan teknologi terbesar dunia, keberhasilan Meta di metaverse sangat dinanti. Namun, dengan keuangan yang semakin memburuk dan banyaknya ketidakpastian, masa depan proyek ini semakin dipertanyakan. ■