
Bank-bank besar dunia kini menunjukkan ketertarikan yang kuat terhadap penggunaan stablecoin sebagai alat pembayaran masa depan, seiring dengan potensi pengurangan biaya transaksi dan percepatan proses pembayaran. Namun, adopsi masif stablecoin masih terkendala oleh ketidakpastian regulasi di berbagai wilayah, termasuk di Inggris dan Amerika Serikat, yang berdampak pada lokasi perusahaan penyedia stablecoin memilih basis operasionalnya.
Fokus utama:
- Bank global mulai serius mempertimbangkan integrasi stablecoin dalam layanan keuangan mereka.
- Stablecoin menawarkan biaya transaksi lebih rendah dan proses pembayaran lebih cepat dibanding sistem konvensional.
- Regulasi yang belum jelas menjadi hambatan utama adopsi stablecoin di banyak negara, sehingga memengaruhi persaingan lokasi bisnis stablecoin.
Dalam beberapa bulan terakhir, stablecoin—mata uang kripto yang nilainya dipatok pada aset fiat seperti dolar AS—menjadi sorotan utama bagi bank-bank besar dunia. Stripe, perusahaan pembayaran digital global, mengungkapkan bahwa bank-bank saat ini sangat antusias untuk mengeksplorasi penggunaan stablecoin sebagai bagian dari solusi pembayaran mereka.
John Collison, salah satu pendiri sekaligus Presiden Stripe, mengungkapkan dalam wawancara dengan Bloomberg pada 30 Mei 2025, “Dalam diskusi kami dengan bank-bank, mereka menunjukkan minat yang sangat besar. Ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan sebuah peluang nyata untuk integrasi stablecoin dalam produk perbankan mereka,” katanya mengutip cointelegraph.com.
Ketertarikan ini didorong oleh keuntungan besar stablecoin dalam menekan biaya transaksi, terutama yang terkait dengan pembayaran lintas negara dan biaya konversi mata uang asing yang selama ini membebani perbankan dan pengguna. “Melakukan transaksi secara konvensional sangat mahal, lambat, dan prosesnya bisa memakan waktu beberapa hari. Tidak ada yang puas dengan keadaan ini,” jelas Collison.
Stablecoin dapat memproses transaksi dalam hitungan detik dengan biaya yang jauh lebih murah dibanding mekanisme konvensional, sehingga menjadi solusi ideal dalam ekosistem pembayaran global. Data terbaru dari CEX.io menunjukkan bahwa volume transfer stablecoin pada kuartal pertama 2024 bahkan melampaui gabungan transaksi Visa dan Mastercard, menandakan penetrasi yang kian dalam ke ranah keuangan tradisional.
Namun, walaupun potensi dan ketertarikan pasar sangat besar, adopsi stablecoin masih menghadapi tantangan regulasi. Di Inggris, misalnya, proses pengesahan aturan stablecoin berjalan lambat, sehingga berisiko kehilangan perusahaan penyedia stablecoin yang memilih beroperasi di wilayah dengan regulasi lebih pasti, seperti Uni Eropa yang sudah mulai memberlakukan regulasi Markets in Crypto-Assets (MiCA) sejak akhir 2024.
Collison mengingatkan, “Perusahaan yang melayani industri ini akan memilih lokasi operasi berdasarkan kerangka regulasi yang jelas. Tanpa kepastian itu, mereka akan mencari tempat lain.” Kondisi serupa juga dialami di Amerika Serikat, di mana bank-bank masih menunggu panduan pemerintah yang lebih terang mengenai ruang lingkup aktivitas crypto.
Meski regulasi masih menjadi hambatan, pertumbuhan pengguna kripto di Inggris justru menunjukkan tren positif. Laporan Gemini pada awal 2025 mencatat bahwa Inggris mencatat kenaikan signifikan dalam jumlah pemilik aset kripto, melampaui rata-rata pertumbuhan di Eropa, yang menunjukkan minat pasar yang kuat meski regulasi belum rampung.
Fenomena ini menggambarkan dinamika ketat antara inovasi teknologi dan kebutuhan regulasi yang mendukung. Stablecoin, yang dulu dipandang sebagai ancaman bagi bank konvensional, kini mulai dilihat sebagai alat strategis yang mampu merevolusi sistem pembayaran global. Namun, kecepatan regulasi akan menentukan siapa yang bisa memimpin dalam era baru ini.
Menurut laporan CEX.io, volume transaksi stablecoin pada kuartal I 2024 mencapai angka yang melampaui gabungan transaksi Visa dan Mastercard. MiCA (Markets in Crypto-Assets) adalah regulasi Uni Eropa yang mulai berlaku akhir 2024, telah memberikan kerangka hukum bagi operasi aset kripto dan stablecoin. Laporan Gemini 2025 mencatat pertumbuhan jumlah pemilik kripto di Inggris tertinggi di Eropa, walaupun regulasi masih dalam tahap konsultasi publik.
Di satu sisi, bank-bank melihat stablecoin sebagai peluang efisiensi pembayaran dengan biaya yang lebih rendah dan proses instan. Namun, di sisi lain, risiko keamanan, potensi pencucian uang, dan perlunya perlindungan konsumen menjadi alasan regulator berhati-hati dalam menetapkan aturan.
Beberapa negara lebih cepat bergerak dengan regulasi ketat, sementara lainnya lambat sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku industri. Hal ini berpotensi memengaruhi persaingan global dalam menarik inovasi dan investasi di sektor keuangan digital. ■
Digionary:
● Stablecoin: Mata uang digital yang nilainya dipatok ke aset stabil seperti dolar AS untuk mengurangi volatilitas harga.
● Stripe: Perusahaan teknologi pembayaran global yang menyediakan platform untuk transaksi online.
● MiCA (Markets in Crypto-Assets): Regulasi Uni Eropa yang mengatur aset kripto dan stablecoin untuk memberikan kepastian hukum.
● Regulasi fintech: Peraturan yang mengatur teknologi finansial agar berjalan aman, transparan, dan melindungi konsumen.
● Kripto (Cryptocurrency): Mata uang digital yang menggunakan teknologi kriptografi untuk transaksi dan pengamanan.