Citi ramal pasar stablecoin tembus US$3,7 triliun di 2030, siap saingi kripto konvensional

- 13 Mei 2025 - 08:14

Pasar stablecoin diprediksi akan meledak hingga mencapai US$3,7 triliun pada 2030, menurut laporan Citi. Potensi ini didorong oleh pergeseran penggunaan stablecoin dari alat perdagangan kripto menjadi sistem pembayaran utama dalam ekonomi global, terutama untuk transaksi lintas negara dan dukungan bagi bisnis kecil. Dengan dukungan regulasi dan adopsi institusional, stablecoin dapat menjadi pilar penting dalam keuangan digital masa depan.


Fokus utama:

  1. Prediksi pertumbuhan eksponensial stablecoin oleh Citi hingga US$3,7 triliun pada 2030.
  2. Transformasi fungsi stablecoin dari alat tukar di ekosistem kripto menjadi instrumen pembayaran global.
  3. Dorongan dari regulasi, adopsi institusional, dan meningkatnya kebutuhan bisnis terhadap efisiensi transaksi lintas batas.

Dalam lanskap keuangan digital yang terus berkembang, stablecoin diprediksi akan menjadi arus utama. Citi, salah satu raksasa perbankan global, memperkirakan nilai pasar stablecoin bisa melonjak hingga US$3,7 triliun pada tahun 2030 — melampaui total kapitalisasi pasar seluruh aset kripto saat ini yang berada di kisaran US$3,45 triliun.

Laporan ini dipublikasikan Citi Institute for the Future of Finance, sebuah think tank yang berada di bawah naungan Citi Group. Menurut Ronit Ghose, Kepala Global lembaga tersebut, penggunaan stablecoin kini mulai bergeser dari sekadar alat transaksi di dunia kripto menuju integrasi dengan ekonomi arus utama.

“Stablecoin bisa menjadi pengganti tunai dalam transaksi aset keuangan yang ditokenisasi, atau digunakan oleh UMKM dan perusahaan besar dalam sistem pembayaran,” kata Ghose kepada CoinDesk. “Dolar—dan dalam kapasitas lebih kecil, euro—telah lama menjadi mata uang internasional. Stablecoin memungkinkan orang di seluruh dunia menyimpan dolar atau euro secara mudah dan murah.”

Saat ini, nilai pasar stablecoin mencapai sekitar US$240 miliar, didominasi oleh dua pemain utama: Tether (USDT) dengan US$145 miliar dan Circle (USDC) dengan US$60 miliar. Dalam skenario dasar, Citi memproyeksikan pasar akan tumbuh menjadi US$1,6 triliun pada 2030, tetapi dalam skenario optimistis, nilainya bisa melonjak hingga US$3,7 triliun—angka yang akan menjadikan stablecoin sebagai salah satu komponen utama dalam sistem pembayaran global.

Perubahan ini bukan hanya didorong oleh institusi keuangan, tetapi juga oleh pelaku bisnis teknologi pembayaran. CEO Fireblocks, Michael Shaulov, mencatat bahwa perusahaan pembayaran kini menyumbang 16% dari seluruh transaksi stablecoin di platformnya, meski hanya mewakili 11% dari klien. Volume transaksi dari sektor ini tumbuh lebih dari 30% dari kuartal ke kuartal.

“Kami perkirakan dalam 12 bulan ke depan, perusahaan pembayaran akan menguasai 50% dari seluruh volume transaksi stablecoin,” ungkap Shaulov.

Stabilitas geopolitik global yang goyah juga turut mempercepat adopsi stablecoin. Konstantin Anissimov, CEO Currency.com, menyebutkan bahwa ketidakpastian politik mendorong pertumbuhan penggunaan stablecoin, terutama oleh UMKM yang kesulitan mengakses sistem perbankan konvensional.

“Saya melihat peningkatan signifikan dalam penggunaan stablecoin oleh pelaku usaha kecil dan menengah karena sistem perbankan semakin sulit diakses,” katanya kepada PYMNTS. “Jika pembayaran bisa dilakukan lebih cepat dan lebih pasti, maka kebutuhan modal kerja bisnis akan berkurang. Semakin cepat uang diterima, semakin banyak barang yang bisa mereka beli.”

Temuan Citi ini memperkuat narasi bahwa stablecoin bukan lagi alat spekulasi belaka. Di tengah kompleksitas sistem keuangan global, aset digital seperti stablecoin kini berfungsi sebagai jembatan antara efisiensi teknologi dan kebutuhan dunia nyata.

Menurut laporan dari Chainalysis (2024), lebih dari US$7 triliun transaksi stablecoin terjadi pada 2023 saja, meningkat 21% dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini mencerminkan permintaan terhadap alat pembayaran yang stabil, transparan, dan cepat di tengah ketidakpastian pasar global.

Di sisi regulasi, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Singapura mulai menyusun kerangka hukum untuk memastikan penggunaan stablecoin tetap aman dan tidak menimbulkan risiko sistemik. Rancangan undang-undang seperti Genius Stablecoin Act di AS menjadi tonggak penting menuju legitimasi lebih luas.

Namun, tantangan tetap ada. Volatilitas aset pendukung stablecoin, kepatuhan terhadap peraturan lintas negara, serta potensi penyalahgunaan dalam aktivitas ilegal menjadi perhatian serius regulator.

Meski begitu, lanskap keuangan global tampaknya mulai membuka pintu lebar bagi stablecoin sebagai tulang punggung sistem pembayaran digital masa depan—mendefinisikan ulang konsep “uang” di era ekonomi terdesentralisasi. ■

Comments are closed.