
Laporan kuartal I-2025 menunjukkan pertarungan bank digital di Indonesia kian sengit, dengan lonjakan aset signifikan dan profitabilitas yang mulai stabil. Pemain seperti Seabank, Bank Jago, dan Superbank memimpin pertumbuhan, sementara strategi integrasi ekosistem dan efisiensi operasional menjadi kunci keberhasilan. Di tengah persaingan sengit, tantangan ke depan terletak pada relevansi dan keberlanjutan model bisnis masing-masing bank digital.
Fokus utama:
- Laporan terbaru menunjukkan bank digital seperti Seabank, Bank Jago, dan Superbank mencatat lonjakan aset jauh melampaui rata-rata industri perbankan, menandai efektivitas strategi berbasis ekosistem digital dan embedded finance.
- Bank digital mulai menunjukkan tren positif dalam profitabilitas, menandai babak baru di mana mereka tidak hanya mengejar pertumbuhan tetapi juga efisiensi dan keuntungan yang berkelanjutan.
- Tahun 2025 menjadi titik kritis dalam peta persaingan bank digital, di mana diferensiasi layanan, integrasi ekosistem, dan ketahanan model bisnis akan menentukan siapa yang bertahan dan menjadi pemimpin industri.
Dalam lanskap industri perbankan Indonesia yang makin ‘digital aja’, bank-bank digital tak hanya menunjukkan eksistensi, tetapi juga agresivitas dalam memperkuat posisi di tengah dominasi bank konvensional. Merujuk pada Statistik Perbankan Indonesia per Februari 2025 yang dipublikasikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan aset perbankan secara umum mencapai 6,7% year on year (yoy).
Namun, di balik angka rata-rata tersebut, terdapat performa luar biasa dari para pemain bank digital yang berhasil mencatatkan pertumbuhan dua hingga tiga kali lipat lebih tinggi dibanding rata-rata industri.
Per Maret 2025 Seabank mengokohkan diri sebagai pemuncak klasemen dengan aset mencapai Rp37,38 triliun, diikuti Bank Jago yang asetnya tercatat sebesar Rp32,46 triliun. Kendati masih jauh dari skala para raksasa seperti BCA atau BRI, bank digital ini menyuguhkan pertumbuhan impresif, menandai efektivitas strategi berbasis digital-native serta integrasi dengan ekosistem teknologi.
Yang menarik, bukan hanya pemain lama seperti Bank Jago atau Seabank yang mendominasi. Superbank, bank digital hasil kolaborasi Grab, EMTEK, dan Singtel, mencatat lonjakan aset 125% YoY menjadi Rp14,04 triliun. Lompatan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan sinyal bahwa strategi ekosistem lintas sektor mulai membuahkan hasil. Di saat yang sama, Krom Bank—anak usaha Kredivo—melaporkan pertumbuhan aset lebih dari 100%, mempertegas relevansi model embedded finance dalam memperluas akuisisi nasabah dan portofolio kredit.
Per Maret 2025 Seabank mengokohkan diri sebagai pemuncak klasemen dengan aset mencapai Rp37,38 triliun, diikuti Bank Jago yang asetnya tercatat sebesar Rp32,46 triliun. Kendati masih jauh dari skala para raksasa seperti BCA atau BRI, bank digital ini menyuguhkan pertumbuhan impresif, menandai efektivitas strategi berbasis digital-native serta integrasi dengan ekosistem teknologi.
Sementara itu, BCA Digital (Blu) dan Hibank, masing-masing anak usaha dari BCA dan BNI, juga berhasil mencatat pertumbuhan aset di atas 20% dengan profitabilitas yang mulai stabil. Di tengah tekanan likuiditas dan kompetisi bunga deposito yang ketat, keduanya mampu menjaga efisiensi dan kualitas aset.
Tapi nggak semua bank digital mencatatkan kinerja positif. Bank Neo Commerce, misalnya, malah mengalami penurunan aset dan kredit. Aset bank besutan Akulaku Group ini tercatat turun 3,91% (yoy) menjadi Rp18,17 triliun pada kuartal I-2025, dibandingkan semula Rp18,91 triliun. Hal ini disebabkan penyaluran kredit yang turun 9,58% (yoy) dari Rp9,39 triliun menjadi Rp8,49 triliun. Namun, Bank Neo Commerce mencatatkan pertumbuhan laba bersih signifikan sebesar 1.023% (yoy), yakni hingga mencapai Rp159,94 miliar. Laba bersih yang melonjak 1.023% ini lebih karena faktor efisiensi dan mungkin penyesuaian biaya operasional, ketimbang ekspansi berkelanjutan.
Dari sisi profitabilitas, tren positif mulai tampak di hampir seluruh pemain utama. Bank Jago membukukan laba Rp60 miliar, tumbuh hampir 3 kali lipat. Superbank bahkan berhasil keluar dari kerugian dengan membalikkan rugi bersih Rp105 miliar menjadi laba, walaupun masih tipis di Rp251 juta. Sementara itu, BCA Digital dan Bank Raya mencatatkan lonjakan laba yang cukup sehat, dengan pertumbuhan masing-masing 84% dan 84,7%.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa bank digital bukan lagi entitas yang “membakar uang” semata. Mereka mulai memetik hasil dari konsistensi dalam pembangunan teknologi, kolaborasi dengan ekosistem digital, dan strategi penyaluran kredit yang lebih selektif namun masif.
Dari sisi profitabilitas, tren positif mulai tampak di hampir seluruh pemain utama. Bank Jago membukukan laba Rp60 miliar, tumbuh hampir 3 kali lipat. Superbank bahkan berhasil keluar dari kerugian dengan membalikkan rugi bersih Rp105 miliar menjadi laba, walaupun masih tipis di Rp251 juta. Sementara itu, BCA Digital dan Bank Raya mencatatkan lonjakan laba yang cukup sehat, dengan pertumbuhan masing-masing 84% dan 84,7%.
Melihat agresivitas pertumbuhan dan mulai stabilnya profitabilitas, dapat diprediksi bahwa tahun 2025 akan menjadi momentum konsolidasi bagi bank digital. Pertanyaan strategis ke depan bukan hanya tentang siapa yang paling besar, melainkan siapa yang paling relevan dan berkelanjutan. Bank digital yang mampu mengintegrasikan layanan ke dalam gaya hidup digital masyarakat Indonesia—baik melalui kolaborasi dengan e-commerce, ride-hailing, maupun sektor riil—akan menjadi pemimpin ekosistem keuangan baru, ekosistem keuangan digital.
Namun, risiko tetap ada. Ketergantungan pada induk usaha teknologi bisa menjadi pedang bermata dua. Jika ekosistem utama terganggu, efek domino terhadap bank digital sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, diversifikasi kanal pendapatan dan penguatan manajemen risiko tampaknya akan menjadi agenda penting yang mesti segera disusun bank-bank digital. Intinya, siapa yang paling relevan dan berkelanjutan di tengah persaingan sengit sektor perbankan digital, dialah yang akan menjadi dominator. ■